Menyoal suara tuhan, sebenarnya terserah anggapan kalian saja, yang terpenting adalah sebelum keagamaan terdapat kemanusiaan. Sederhananya, jika dari kacamata manusia (negara) sudah keliru apalagi agama.
Beberapa hari ke belakang beberapa media menyoal mengenai perkara “suara suami adalah suara tuhan”, kalimat yang terlontar dari seorang famous yang kalian tau sendiri siapa. Dengan redaksi lengkapnya begini, “Kalau udah berkeluarga, aku udah kepala keluarga, kamu jangan kayak kita pas masih tunangan. Izin suami, suara suami adalah suara dari Tuhan. Jadi kalau aku nggak izinin ini ini, kamu harus nurut, gabisa kayak sebelumnya.”
Nah sampai sini mungkin betul ya bahwa laki-laki dalam ranah rumah tangga adalah kepalanya. Dan bahwa istri harus memegang izin suami untuk melakukan ini-itu. Tapi bukan berarti tidak berlaku pada suami juga nih, suami juga harus minta pendapat istri dalam mempertimbangkan layaknya presiden yang mendengarkan keluhan rakyat, atau rektor yang mendengar keluhan mahasiswa. Ketika presiden dan rektor berfatwa ada kemungkinan tidak didengar rakyat dan mahasiswanya, begitu juga sebaliknya. Tapi, ada indikasi kehilangan keharmonisan deh. Naudzubillah
Kemudian, lanjut kepada kalimat setelahnya yang menjadi kritik hingga kecaman orang banyak berikut:
“Karena istilahnya hidup kamu udah diserahkan ke laki-laki yang bertanggung jawab atas kamu. Gabisa ada perdebatan soal-soal kayak gini kayak gitu, kayak kita pas jadi tunangan.”
Betul juga bahwa laki-laki bertanggung-jawab atas perempuan dalam pemenuhan sandang, pangan dan papannya. Yang melingkupi hidupnya. Logisnya, selama istri masih menikmati pemenuhan hak tersebut, istri berkewajiban memenuhi kebutuhan seksual suaminya (asalkan tanpa paksaan).
Tapi sampai situ saja, selanjutnya yaitu tanggapan dari Komnas Perempuan yang prihatin dan kecewa sebab pernyataan patriarkis dan menjadikan pernikahan menjadi media untuk melanggengkan bentuk-bentuk ketidak-adilan gender. Begini tuturnya, “Perempuan yang berstatus istri jadi kehilangan hak untuk ikut menentukan dan memutuskan rumah tangga seperti apa yang akan dibangun. Seperti keinginan memiliki 15 anak, sudahkah hal ini disepakati istri? Perempuan tidak bisa diposisikan sebagai ‘pabrik anak’ saja. Tapi juga memiliki hak untuk menentukan.”
Kemudian persoalan suara suami adalah suara tuhan. Nah, tuhan darimana? Ini benar-benar tidak bisa disamakan dengan Tuhan yang kita sembah tentunya. Sebenarnya, dibawa santai saja. Selama suami masih memuliakan istrinya layaknya Sayyidina Ali kepada Sayyidati Fatimah dan selama istri ikhlas patuh dan tidak keberatan (tanpa paksaan) layaknya Sayyidati Hajar kepada Sayyidina Ibrahim maka semuanya akan baik-baik saja.
Hal ini sebenarnya merupakan salah satu bukti bahwa sosial-budaya dipengaruhi oleh teks keagamaan yang membentuk persepsi seseorang. Dari berbagai macam literatur islam bernuansa fiqh pun terdapat fatwa-fatwa ulama’ yang dominan pada suami, memposisikan kuasa penuh atasnya, menjadikannya superior. Tetapi, sebenarnya telah diimbangi juga dengan persyaratan-persyaratan yang disepakati ahli fuqaha’. Tinggal bagaimana pembaca budiman menjadikannya bijak.
Terlepas dari itu, penulis mencoba memahami lebih dalam pada satu ayat yang ‘seringkali’ ditafsirkan bertentangan yaitu pada QS. An-Nisa’, 4: 34 yang lafalnya: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ.....
Pada lafal Qowwamuna ala al-Nisa’ mayoritas ahli tafsir menempatkan superioritas laki-laki dengan demikian diterjemahkan dengan “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” dengan 2 sebab yaitu 1) karena Allah menciptakan laki-laki memiliki kelebihan yang lebih daripada perempuan dan 2) laki-laki telah menafkahi perempuan dari hartanya. Untuk itu, mufassir masa klasik seperti Syekh Nawawi ad-Dimasyqi, Syekh Ath-Thabari dan Syekh Zamakhsari menafsirkan:
Laki-laki memiliki kelebihan dalam tugas istimewa sebagai imam, wali, saksi, dsb juga dalam fisik yang kuat, penilaian yang tepat dan perencanaan yang matang. (Al-Nawawi)
Laki-laki sebagai penanggung-jawab, bertanggung-jawab dalam mendidik istri, membimbing agar istri menunaikan kewajiban kepada Allah dan kepada suami. (Ath-Thabari)
Laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagaimana penguasa kepada rakyat. (Al-Zamakhsari)
Penafsiran demikian dapat dikatakan terpengaruh oleh situasi sosial-kultural pada masanya dimana perempuan memiliki kedudukan yang rendah.
Berikut penafsiran pada masa kontemporer:
Menurut Syekh Al-Sya’wari, laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan maksudnya adalah berusaha dengan susah payah untuk memperbaiki kehidupan perempuan, memperbaiki masalah yang dialami perempuan. Adapun, kelebihan laki-laki yang dimaksud adalah dalam hal mencari nafkah, dengan bekerja menghidupi keluarga dianggap sebagai keutamaan suami atas istri.
Sementara menurut Habib Quraish Shihab menyatakan bahwa, Suami memiliki hak untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga sebab memiliki psikis dan fisik yang lebih kuat dibanding perempuan. Dengan mengambil haknya, laki-laki berkewajiban untuk memberi nafkah keluarga.
Hal ini terhubung dengan pendapat Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid bahwa kaum perempuan sesungguhnya juga bisa menjadi kepala rumah tangga. Fakta pun membuktikan bahwa lebih dari lima puluh persen perempuan di Indonesia telah mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. (Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan).
Jadi, bagaimana suara dari Tuhan yang sesungguhnya? Pastinya yang memuliakan manusia, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak asasi manusia. Begitupun dalam ranah rumah tangga, perempuan memiliki hak berpendapat, hak menikmati berhubungan ataupun menolak berhubungan seksual juga hak menolak hamil. Sebagai landasannya dapat dikaji lebih dalam pada sedikitnya beberapa ayat ini (QS. Al-Ma’idah: 32, 83; Al-Isra’: 26; An-Nisa’: 1, 34, 135; Al-Hadid: 25; Ali-Imran: 110; Al-Hujurat: 13; An-Nahl: 97 dan Al-Baqarah: 187, 228). Sebab, menyoal perempuan masih ada banyak ayat lagi yang tersebar dalam banyak surat al-Qur’an.
Dan juga untuk umat Islam, jangan lupa akan pentingnya memahami konsep Islam (Al-Qur’an) secara utuh ya, dengan demikian ilmu kita kan insyaAllah akan teraplikasikan dengan bijak.
Sayyidina Umar bin Khattab berkata: “Ketika masa Jahiliah (pra Islam), kami (kaum laki-laki Arab) sama sekali tidak pernah memandang penting kaum perempuan. Tetapi, ketika Islam datang dan Tuhan menyebut-nyebut mereka, kami baru menyadari bahwa mereka memiliki hak atas kami.” (HR. Bukhari)
Nah, masa iya setelah beratus tahun masih ada kaum laki-laki yang tidak menyadari hak-hak kami (perempuan)?
Terakhir, ini hanyalah sebuah opini, layak dibentangluaskan dengan opini lainnya.
Salam damai dan Terimakasih:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H