Setiap individu, memiliki pandangan mengenai doktrin kebenarannya masing-masing. Sedang, setiap individu juga memiliki kebutuhan sosial. Termasuk didalamnya beragama, bersekte, ataupun ber-ormas. Ada kalanya, pertikaian di dalamnya (baik dalam bentuk komersial, ajang politik penguasa maupun dakwah sesungguhnya) masih menyodorkan berbagai kesan negatif dan obrolan-obrolan pesimis yang hangat. Apalagi didukung realita terkini yang berkembang menjadi begitu memprihatinkan. Sebab, apa yang kita sebut ukhuwah islamiyah ternyata belum bisa berjalan dengan baik.
Padahal kebebasan beragama (maupun ber-ormas) tidak seharusnya menimbulkan kontroversi, mengundang perpecahan, apalagi mencederai kesakralan agama. Akan tetapi, nampaknya aktivitas beragama (maupun ber-ormas) disalahpahami menjadi ajang baku hantam bagi pengikut garis keras suatu golongan.
Nah lho, maksudnya bagaimana?
Itu tergantung bagaimana pemikiran Anda sendiri saja. Sebab, yang akan tertulis disini hanyalah sebaris cuitan mengenai Introspeksi. Hehe,Â
Menurut KBBI, Introspeksi adalah peninjauan perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan diri sendiri. Manusia pada dasarnya sangat mudah menghakimi tetapi begitu sulit untuk introspeksi diri, mudah menyalahkan ataupun mencari-cari kesalahan orang lain tetapi sulit mengakui kesalahan. Makhluk yang lemah ini memang haruslah terus-menerus diingatkan agar fungsi sejatinya sebagai khalifah tersadarkan.
Intropeksi diri tidak melulu tentang hal baik dan hal buruk apa yang telah kita lakukan kepada orang di sekitar kita hari ini, tetapi juga tentang tanggung-jawab massal sebagai umat muslim sekaligus warga negara di bumi ini.
Berbicara mengenai muslim, yaitu orang yang beragama Islam. Berdasarkan KBBI, Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kemudian, misi utama Nabi Muhammad Saw. yaitu memperbaiki akhlak manusia. Tentang bagaimana seharusnya manusia menjadi beradab, beretika, ber-akhlak mulia. Islam, melalui kata dasarnya berarti "damai", "penyerahan diri". Sebagaimana nama yang mencerminkan sosok, Islam sebagai agama mengisyaratkan bahwa pelakunya (muslim) mendamba pribadi dan masyarakat yang damai, kedamaian dalam lahir maupun batin. Sungguh, nama yang begitu mulia..
Mengutip ungkapan M. Quraish Shihab, "Dalam sapaan pemeluk Islam mengandung persembahan kedamaian yang disampaikan kepada siapapun. Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh (Semoga keselamatan dan kedamaian selalu terlimpah kepada anda disertai rahmat dan keberkahan-Nya)"
Tapi apalah daya jika yang terucap hanya manis di bibir belaka. Bagaimana tidak? Jangankan salam, basmalah pun terkadang hanya rutinitas kebiasaan baik yang diajarkan para orangtua. Masih bagus mengucapnya bukan? Daripada tidak, hehe. Itu adalah contoh kecil mengenai betapa kurangnya kita menghayati do'a-do'a selama ini. Jika dirasa, semakin asal-asalan mengucap semakin tak berarti apa yang diucap. Jadi, bagaimana bisa membentuk kepribadian baik jika yang terucap tidak melalui hati?