Mohon tunggu...
Dewi Ailam
Dewi Ailam Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pengagum dunia seputar Al-Qur'an dan tafsirnya. Salam Literasi^^

Sungguh tidak ada daya menghindarkan diri dari kemaksiatan kecuali dengan perlindungan-Nya dan tidak ada kekuatan melaksanakan ketaatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Semoga melalui tulisan ini menjadi setitik wasilah menggapai keberkahan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Introspeksi: Sebuah Bentuk Autokritik

5 April 2021   03:14 Diperbarui: 5 April 2021   03:53 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap individu, memiliki pandangan mengenai doktrin kebenarannya masing-masing. Sedang, setiap individu juga memiliki kebutuhan sosial. Termasuk didalamnya beragama, bersekte, ataupun ber-ormas. Ada kalanya, pertikaian di dalamnya (baik dalam bentuk komersial, ajang politik penguasa maupun dakwah sesungguhnya) masih menyodorkan berbagai kesan negatif dan obrolan-obrolan pesimis yang hangat. Apalagi didukung realita terkini yang berkembang menjadi begitu memprihatinkan. Sebab, apa yang kita sebut ukhuwah islamiyah ternyata belum bisa berjalan dengan baik.

Padahal kebebasan beragama (maupun ber-ormas) tidak seharusnya menimbulkan kontroversi, mengundang perpecahan, apalagi mencederai kesakralan agama. Akan tetapi, nampaknya aktivitas beragama (maupun ber-ormas) disalahpahami menjadi ajang baku hantam bagi pengikut garis keras suatu golongan.

Nah lho, maksudnya bagaimana?

Itu tergantung bagaimana pemikiran Anda sendiri saja. Sebab, yang akan tertulis disini hanyalah sebaris cuitan mengenai Introspeksi. Hehe, 

Menurut KBBI, Introspeksi adalah peninjauan perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan diri sendiri. Manusia pada dasarnya sangat mudah menghakimi tetapi begitu sulit untuk introspeksi diri, mudah menyalahkan ataupun mencari-cari kesalahan orang lain tetapi sulit mengakui kesalahan. Makhluk yang lemah ini memang haruslah terus-menerus diingatkan agar fungsi sejatinya sebagai khalifah tersadarkan.

Intropeksi diri tidak melulu tentang hal baik dan hal buruk apa yang telah kita lakukan kepada orang di sekitar kita hari ini, tetapi juga tentang tanggung-jawab massal sebagai umat muslim sekaligus warga negara di bumi ini.

Berbicara mengenai muslim, yaitu orang yang beragama Islam. Berdasarkan KBBI, Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kemudian, misi utama Nabi Muhammad Saw. yaitu memperbaiki akhlak manusia. Tentang bagaimana seharusnya manusia menjadi beradab, beretika, ber-akhlak mulia. Islam, melalui kata dasarnya berarti "damai", "penyerahan diri". Sebagaimana nama yang mencerminkan sosok, Islam sebagai agama mengisyaratkan bahwa pelakunya (muslim) mendamba pribadi dan masyarakat yang damai, kedamaian dalam lahir maupun batin. Sungguh, nama yang begitu mulia..

(Dokumentasi pribadi)
(Dokumentasi pribadi)

Mengutip ungkapan M. Quraish Shihab, "Dalam sapaan pemeluk Islam mengandung persembahan kedamaian yang disampaikan kepada siapapun. Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh (Semoga keselamatan dan kedamaian selalu terlimpah kepada anda disertai rahmat dan keberkahan-Nya)"

Tapi apalah daya jika yang terucap hanya manis di bibir belaka. Bagaimana tidak? Jangankan salam, basmalah pun terkadang hanya rutinitas kebiasaan baik yang diajarkan para orangtua. Masih bagus mengucapnya bukan? Daripada tidak, hehe. Itu adalah contoh kecil mengenai betapa kurangnya kita menghayati do'a-do'a selama ini. Jika dirasa, semakin asal-asalan mengucap semakin tak berarti apa yang diucap. Jadi, bagaimana bisa membentuk kepribadian baik jika yang terucap tidak melalui hati?

Bagaimana jika mulai kini, setiap mengucap salam kita menautkan hati dengan berdo'a makna yang terkandung didalamnya. Barangkali dengan begitu, membawa kebaikan terhadap budi pekerti kita. Ketika satu baik, yang lain akan terhubung baik pula. Begitulah harapan mengenai percekcokan sektarian yang tak kunjung berkesudahan, malah justru ada saja yang menyuluti bahan bakar. Ada-ada saja.

Tetapi, begitulah kehidupan. Berpasang-pasangan baik dan buruk, ujian dan cobaan. Bukankah setiap diri kita akan mencapai kedewasaan melalui cobaan-cobaan yang diambil hikmahnya? Dengan begitu, akan tercermin melalui kepribadian yang cenderung melakukan hal positif. Bukan mengombang-ambingkan, apalagi mengkafirkan. Xixi. 

Kiranya sangat perlu adanya ruang yang dapat menciptakan suasana dimana kita bisa introspeksi diri bersama, menyamakan pandangan. Paling tidak pada pandangan dasar mengenai apa-apa yang telah kita lakukan (sebagai sesama umat Islam) sehingga damai di antara kita, tidak ada kesan saling tuduh-menuduh, menyalahkan.

Lantas, bagaimana mewujudkannya?

Mengutip perkataan Sherlock Holmes Dalam Kisah Rumah Kosong, "Kerja adalah penangkal terbaik penderitaan". 

Maknanya, mempekerjakan otak (mengasah kemampuan berpikir) akan menjauhkan diri dari penderitaan (sebab kebodohan).

"..Tidak ada manusia yang dilahirkan dalam kondisi 'alim, ilmu harus dipelajari. Maka belajarlah kita semua.." (Ibnu Mas'ud)

Belajarlah kita semua, berpikir dan berkembanglah kita bersama, Semoga keselamatan dan kedamaian selalu terlimpah kepadamu beserta rahmat dan keberkahan-Nya~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun