Sejak dulu, fenomena menikah muda telah marak terjadi di masyarakat, bagi perempuan yang telah akil baligh (berakal dan cukup umur) maka telah dianggap dewasa dan siap untuk menikah. Akan tetapi, benarkah menikah suatu kewajiban yang jika tidak segera dilaksanakan akan membuat malu keluarga?
Jawabannya tergantung bagaimana seseorang menilainya. Sudut pandang hukum negara mengatakan, pernikahan diizinkan apabila laki-laki dan perempuan mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun (Berdasarkan UU No. 16 Pasal 7 Tahun 2019).
Usia minimal 19 tahun dianggap usia dimana perempuan -yang akan menjadi Ibu- bisa melahirkan dengan sehat, telah menyelesaikan pendidikan atas dimana berkesempatan untuk bekerja atau belajar lagi dan memiliki kesiapan mental untuk membina keluarga sehat. (Berdasarkan informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pendidikan Anak).
Jika dilihat dari sudut pandang agama, mayoritas ulama’ fiqih sepakat bahwa:
Menikah (pernikahan) bertujuan untuk kemaslahatan (kebaikan) baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Hal ini berlandaskan kepada QS. Al-Rum, 33: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Jika tidak membawa maslahah maka hukum nikah bisa menjadi makruh lho, menurut madzab Syafi’i pernikahan yang makruh adalah ketika calon mempelai tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul atau masih dapat menahan diri dari berbuat zina dan tidak berkeinginan untuk menikah. Bahkan, dalam madzab Hanafi dan Maliki hal sebagaimana tersebut dihukumi haram.
Perempuan maupun laki-laki memiliki hak untuk memilih pasangan.