Surabaya – Di tengah hiruk-pikuk Rumah Sakit Hewan Universitas Airlangga, seorang mahasiswi muda tampak asyik mencatat sembari berbincang dengan para kakak koas. Sosok ini tak hanya dikenal cerdas, tetapi juga punya kepekaan mendalam terhadap sekitarnya. Sebagai seorang ISFP, ia membawa kehangatan dan empati yang membuatnya mudah diterima, baik oleh rekan-rekannya maupun para pasien kecil berbulu yang dirawat di sana.
Belajar Langsung di Lapangan: Keseimbangan Antara Ilmu dan Empati
Bagi seorang mahasiswa kedokteran hewan, teori di kelas hanyalah permulaan. Pengalaman nyata di lapangan adalah kunci untuk memahami dunia kerja yang sesungguhnya. “Saya ingin tahu bagaimana kakak-kakak koas menghadapi tantangan nyata di lapangan, terutama saat menangani kasus yang sulit,” tuturnya.
Namun, bukan hanya keterampilan teknis yang menarik perhatiannya. Dengan gaya khas seorang ISFP, ia lebih fokus pada sisi manusiawi pekerjaan ini—tentang bagaimana para dokter hewan menjaga keseimbangan emosi saat berhadapan dengan kasus-kasus kritis. “Bagi saya, empati terhadap pasien dan pemiliknya itu sama pentingnya dengan keahlian medis,” katanya dengan tulus.
Empati yang Membawa Perubahan
Di dunia kedokteran hewan, setiap hari penuh tantangan—baik secara fisik maupun emosional. Menyaksikan hewan yang menderita, dan kadang harus berpisah dengan pemiliknya, bisa menguji mental setiap profesional di bidang ini. Namun, kepribadian ISFP sang mahasiswi justru menjadikannya sosok yang mampu menghadapinya dengan ketenangan dan perhatian penuh. Kepekaannya terhadap emosi orang lain menjadikannya pendengar yang baik.
Banyak kakak koas yang mengungkapkan bahwa berbincang dengannya seperti menemukan ruang untuk beristirahat sejenak dari tekanan pekerjaan yang berat. “Dia benar-benar pendengar yang baik. Rasanya seperti ngobrol dengan teman yang paham apa yang saya alami,” ungkap salah satu koas.
Dari interaksi-interaksi ini, ia memetik pelajaran penting: menjadi dokter hewan bukan hanya soal keterampilan medis, tetapi tentang kemampuan membangun hubungan yang sehat dengan pasien, pemiliknya, dan rekan sejawat.
Menyatukan Hati dan Ilmu dalam Profesi Dokter Hewan
Di akhir percakapan dengan para koas, sang mahasiswi mengungkapkan bahwa ia ingin menjadikan empati sebagai bagian utama dalam praktik kedokteran hewan di masa depannya. “Saya ingin membangun kepercayaan dengan pemilik hewan, karena mereka datang dengan harapan besar terhadap kami. Kita harus bisa menjadi lebih dari sekadar profesional medis, tetapi juga seorang teman yang bisa mengerti kekhawatiran mereka,” ujarnya.
Pernyataan ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam mengenai profesi ini: selain keterampilan teknis yang harus diasah, seorang dokter hewan harus punya kemampuan untuk mengelola perasaan, baik milik pasien maupun pemiliknya. Kemampuan ini sering kali tidak diajarkan di ruang kuliah, namun sangat krusial dalam menghadapi berbagai situasi yang penuh tekanan dan emosi.