Mohon tunggu...
Ahmad Muayyad
Ahmad Muayyad Mohon Tunggu... -

Masih pelajar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Salah Kaprah Maulid

28 Desember 2016   21:24 Diperbarui: 28 Desember 2016   21:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Rabi'ul Awwal selalu saja memunculkan polemik di antara kaum Sunni dan wahabi perihal peringatan Maulid Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam. Apakah Sunnah? Atau jangan-jangan bid'ah?. Namun sebelum itu alangkah baiknya kita mengetahui apakah hakikat maulid Nabi itu sendiri.

Peringatan maulid Nabi Muhammad—sebagaimana yang diutarakan oleh Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani—hakikatnya adalah suatu perkumpulan yang diadakan untuk mendengarkan sejarah Nabi Muhammad, serta mengingat pemberian dan anugerah-Nya yaitu lahirnya Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam.

Jelas sudah, bahwasanya Maulid Nabi merupakan representasi kegembiraan beriring rasa syukur kita atas anugerah agung lahirnya Pembawa rahmat bagi alam, Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam. Allah subhaanahu wata'ala berfirman:

{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58)} [يونس: 58]

"Katakanlah: Berkat anugerah serta rahmat Allah, maka sebab itu bersukacitalah. Hal itu lebih baik daripada harta yang mereka kumpulkan"

Lhoh, bukannya ayat ini tidak menjelaskan tentang sukacita atas lahirnya Nabi Muhammad?. Bahkan di kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan lafal "Fadl" pada ayat ini adalah Islam. Sedang pada lafal "Rahmah" di sini adalah Al-Qur'an. Bagaimana dengan pendapat yang seperti itu?.

Cukuplah kita tahu, Allah juga telah menyatakan dengan gamblang bahwa Nabi Muhammad diutus tidak lain sebagai rahmat bagi alam semesta.

{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)} [الأنبياء: 107]

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."

Sayyidina Abbas radliyallahu 'anhu pernah berpendapat perihal surat Yunus ayat 58 di atas. Beliau berkata: "Maksud lafal "fadlullah" adalah ilmu, "warohmatuhu" adalah Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam. Allah berfirman: 'Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."'

Dalam hal ini Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani berkomentar: “Apa yang mencegah mencakupnya lafal “Rahmat” di surat Yunus ayat 58 kepada Nabi Muhammad?. Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad, semuanya adalah rahmat.”

Kemudian Abuya melanjutkan. “Siapakah gerangan datang membawa Islam yang merupakan rahmat.? Siapakah gerangan yang diturunkan padanya Al-Qura’an yang merupakan rahmat?. Bukankah dia itu Nabi Muhammad yang datang dengan segala rahmat ini?. Jika saja tak ada nas yang menyatakan bahwa lafal “Rahmat” di sini adalah Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam, maka sejatinya cukuplah dengan petunjuk bahwa yang datang membawa rahmat, dialah (pasti) rahmat.”

Mengusut siapakah sosok yang pertama kali memperingati agaknya dirasa penting untuk mengetahui bid’ah atau tidaknya maulid ini. Yang menarik orang yang pertama memperingati maulid Nabi adalah beliau sendiri; Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam. Ada sebuah hadis riwayat Imam Muslim; manakala Nabi ditanya mengenai puasa hari Senin, beliau menjawab: "Itu adalah hari kelahiranku."  Ini merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad begitu memperhatikan, begitu menghargai, begitu mengagungkan hari kelirannya sendiri. Sampai-sampai beliau menjadikan hari Senin sebagai hari untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berpuasa.

عن أبي قتادة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم الاثنين فقال: " فيه ولدت، وفيه أنزل عليَّ "

Secara substansial, hadis di atas menunjukkan peringatan maulid Nabi. Hanya saja, terdapat perbedaan dalam hal kaifiah dengan yang bisanya berlaku di masyarakat. Namun, baik itu berpuasa, atau bersedekah, memberi makan, perkumpulan dzikir, bersholawat pada Nabi Muhammad, atau mendengarkan keistimewaan Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam dan itu semua dilakukan atas dasar gembira akan kelahiran Nabi Muhammad, maka substansinya tetaplah sama, yakni memperingati maulid Nabi.

Peringatan maulid Nabi seperti yang sekarang ini, dari segi majlisnya boleh dibilang memang bid’ah, karena di zaman Nabi tak ada hal tersebut. Hanya saja tergolong bid’ah hasanah, dikarenakan hal itu tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah yang bersifat umum. Namun, jika menengok satu persatu acara yang ada dalam majlis itu, yang mana di sana kita berdzikir, bersedekah, menyanjung dan mengagungkan Nabi Muhammad, maka jelas sudah bahwa hal ini sunah. Dengan catatan tak ada kemungkaran di dalamnya, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dan lain-lain.

Keterangan yang telah terlampir di atas, sudah dijelaskan dengan sejelas-sejelasnya oleh Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani dalam karyanya Chaulal Ichtifal Bidzikri Maulidin Nabbiyyis Syarif. 

haulal-ihtifal-5863ca03187b616a078b457a.jpg
haulal-ihtifal-5863ca03187b616a078b457a.jpg
Maka sadarlah!. Sesungguhnya andaikata tak ada Nabi Muhammad, niscaya tak akan ada jalan kebenaran, tak akan ada segala macam kebaikan, tak akan ada Al-Qur’an, bahkan tak akan ada yang namanya agama Islam. Maka sebab itu kita harus bersukacita, mengungkapkan rasa syukur kita atas kelahiran beliau, Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam.

Untuk menutup tulisan ini, akan penulis lampirkan pernyataan Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani mengenai maulid Nabi: 

“Kami memperingati maulid Nabi Muhammad selama-lamanya, di setiap waktu, pada setiap momen, dalam setiap kesempatan yang mana terdapat kegembiraan, dan semangat di dalamnya. Lebih-lebih gembira pada bulan kelahirannya, yakni Rabi’ul Awwal, dan hari kelahiran beliau hari Senin.

Dan tidaklah pantas bagi orang berakal bertanya: ‘mengapa kalian memperingatinya?’. Karena hal itu sama saja dengan bertanya; ‘mengapa kalian bergembira sebab lahirnya Nabi Muhammad?’ sama halnya dengan bertanya: ‘mengapa kalian bersukacita sebab Nabi Muhammad?’. Apakah pertanyaan seperti itu pantas keluar dari mulut seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad utusan Allah?!

Sebab itu adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab. Cukuplah orang yang ditanya menjawabnya: ‘Aku memperingati maulid Nabi Muhammad, karena aku senang, aku gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad. Aku senang dan gembira karena aku cinta pada Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wasallam. Aku cinta pada beliau karena aku seorang mu’min.’”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun