"Semua propaganda perang, semua teriakan dan kebohongan dan kebencian, selalu datang dari orang yang tidak ikut berperang"George Orwell, Penulis Inggris 1903-1950
Saat ini kita Masuk dalam Era Post Truth, Era dimana kebohongan menyamar jadi kebenaran dengan memainkan emosi dan perasaan pengguna media sosial, di alam media sosial setiap orang bisa membawa kebenarannya masing-masing, setiap orang bisa menyebarkan opini ditambah  Buzzer dan akun anonim yg semakin membenarkan opini tersebut entah itu teruji kebenarannya atau hanya sekedar kebencian terhadap kelompok tertentu, pemilu 2014 dan 2019 masih lekat di ingatkan bagaimana kabar bohon dan penggiringan opini berupa link berita serta potonganvideo berseliweran di grup Whatsapp, Facebook Dan Twitter serta video Youtube dengan berbagai potongan clikbait dan screenshot judul berita yg jauh berbeda dengan konteks isi berita.Â
Disitulah emosi dan perasaan pengguna media sosial di mainkan Sampai-sampai orang yang pernah membaca pun dengan lugas mempertahankan argumentasinya walaupun sudah ditunjukkan fakta sebenarnya,
Saat terpilihnya Donald Trump jadi presiden amerika kamus oxford memasukan Post Truth sebagai Word Of The Years, dan mendefinisikan sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini dibadingkan emosi dan keyakinan personal. Dalam kurun waktu pemilu di Indonesia Tahun 2019 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat kabar bohong (hoaks) politik mendominasi dengan jumlah 549 temuan dari 1.610 temuan hoaks selama periode Agustus 2018-23 April 2019. Maret 2019 atau sebulan menjelang pemilu April 2019 menjadi puncak tertinggi peredaran hoaks, yakni mencapai 453 isu hoaks, belum juga termasuk serangan akun Bot untuk menaikan isu agar Trending di media sosial, tentunya persebaran kabar bohong dalam pemilu 2024 nanti diprediksi akan semakin dinamis cara persebarannya melalui berbagai platform media sosial.
Dalam urutan media sosial di indonesia ada 4 besar, Whatsapp, Instagram Facebook dan Tiktok, dalam konteks kepemiluan 2024 nanti Facebook dan Tiktok bisa menjadi alat propaganda isu politik, namun jika dilihat pertumbuhan dan perilaku pengguna media sosial saat ini rasanya Tiktok akan menjadi media yang akan dimanfaatkan untuk menyebarkan propaganda isu politik, Berdasarkan data We Are Social, pengguna TikTok di dunia diperkirakan mencapai 1,05 miliar pada Januari 2023. Jumlah tersebut meningkat 18,8% dibandingkan pada tahun sebelumnya, Pengguna TikTok paling banyak berasal dari Amerika Serikat. Tercatat ada 113,25 juta pengguna, menyusul Indonesia di urutan kedua dengan jumlah pengguna sebanyak 109,90 juta pengguna. Dengan hampir 70% usia pengguna 18-34 tahun harus diwaspadai karena sangat potensial digunakan dalam upaya propaganda isu politik.
Stakeholder pemilupun harus mulai sadar akan potensi kerawanan pemanfaatan tiktok dalam upaya propaganda isu politik saat pemilu, bawaslu sebagai lembaga pengawasan pemilu sebenarnya sudah mulai menjalin MOU dengan tiktok (10 februari 2023), ini menjadi langkah antisipatif yang sangat bagus namun juga harus menggandeng platform media sosial lainya sehingga ada kesepahaman bersama bahwa penyedia media sosial juga harus ikut serta dalam penyelanggaran demokrasi yang sehat dengan menyediakan Tolls di platformnya untuk bisa Mentakedown ataupun kroscek fakta sehingga masyarakat sebagai User mendapatkan informasi yang berimbang dan pengguna lain yang memanfaatkan medsos secara ekonomi, sosial dan konten diluar politik pun nantinya bisa nyaman saat masuk mendekati pemilu, tidak dipenuhi dengan tranding yang dikaterogikan sebagai ujaran kebencian, karena banyak konten kreator yang mendapat menfaat positif dari media sosial, berikut adalah contoh bagaimana media sosial khususnya tiktok menggerakan dan mempengaruhi sosial masyarakat
Belum lama ini di Lampung Tiktoker bernama bima yang membuat video dari Australia, mengkritisi infrastruktur jalan di Lampung berhasil menggerakan masyarakat disana untuk membuat video dilokasi jalan yang rusak dan dikemas dalam sindiran sarkas kepada pemerintah bahkan berhasil menarik perhatian presiden Joko Widodo untuk mengunjungi Lampung, inilah yang dimaksud gerakan sosial saat ini bisa dimulai dari video-video pendek. Bima bisa dikatakan sisi positif dari video tiktok yang menghasilkan kemanfaatan bagi masyarakat Lampung setelah viral jalanpun langsung diperbaiki.
Disisi lain jauh dari lampung mari menuju Filipina dalam kontek Pemilu Presiden disana, pemilu yang dilaksanakan pada November 2022 ini mengejutkan dunia dengan terpilihnya anak dari diktaktor Filipina Ferdinan Marcos yaitu Ferdinan Marcos Junior atau yang biasa di panggil Bongbong Marcos dengan segala kejahatan di masa lalu sang ayah, pelanggaran HAM dan korupsi harus diturunkan melalui revolusi EDSA atau Revolusi Kekuatan Rakyat, sebuah demonstrasi massal tanpa kekerasan di Filipina yang terjadi pada tahun 1986. Bongbong Marcos berhasil memenangkan pemilu dan lepas dari bayang-bayang sang ayah yang berkuasa selama 21 tahun.
Keberhasilan itu berkat benyaknya pemilih muda dan pemanfaatan media sosial, Pemilih Filipina saat itu berusia di bawah 40 tahun  atau 56 persen dari seluruh pemilih. Alhasil, mereka belum lahir atau terlalu kecil untuk paham korupsi pemerintahan Ferdinan Marcos yang berkuasa antara 1965-1986, dengan kemasan branding di media sosial Bongbong Marcos berhasil membius dan membuat pemilih untuk menatap masa depan serta melupakan era gelap kediktatoran ayahnya.
Memanfaatkan infulencer untuk membranding dirinya agar lepas dari banyang-bayang sang ayah, Bongbong Marcos sangat paham betul karakter pemilih yang acuh akan masa lalu serta ahistoris bahkan Alan German, ahli strategi kampanye di Agents International, menyebut bahwa kreator konten politik Marcos Jr dibayar hingga US$ 4.700 (Rp 68 juta) per bulan. Angka itu fantastis mengingat upah minimum per bulan di Filipina hanya US$ 170 (Rp 2,4 juta).
Kedua contoh di atas sangat nyata bahwa konten media sosial bisa sangat berpengaruh dalam mengerakan opini masyarakat, ini harus dipahami betul bagi seluruh Stakeholder pemilu saat masuk tahun politik 2024 dimana 14 Februari akan memilih presiden dan 27 November akan melaksanakan Pilkada, pertanyaan apakah pemilu 2024 nanti akan meningkatkan kualitas demokrasi atau bahkan membuka luka lama saat pemilu presiden 2014, 2019 serta pilkada DKI 2017 dimana perpecahan sampai ke tingkat bawah, masyarakat desa yang taunya hanya memilih pemimpin yang baik buat bangsa ini malah terbawa kepada isu SARA,
Pengawasan dan aturan main dalam dunia media sosial harus bisa menjadi perhatian baik KPU dan bawaslu serta stakeholder dan tokoh politik nasional, literasi digital Indonesia baru 62% dibawah Rata-rata negara ASEAN yang sudah 70%, ini menjadi tantangan tersendiri bagi stakeholder pemilu agar nantinya demokrasi di indonesia lebih berkualitas dan mengedepankan gagasan bukan masuk ke ranah SARA
KPU sebagai lembaga penyelanggara pemilu harus mampu membuat regulasi yang jelas dalam pelaksanaan kampanye di media sosial, defisini media sosial, akun kampanye serta aturan endorsment perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini, serta dalam konteks pengawasan bawaslu sebagai lembaga pengawasan pemilu harus mampu meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengawasan pemilu, tidak hanya itu kominfo serta kepolisian harus memasifkan patroli siber untuk menekan sebaran berita bohong, sehingga pemilu 2024 nanti kita bersama berharap menjadi benar-benar pesta demokrasi, pesta yang setiap orang bertanggung jawab atas keberhasilannya, pesta yang sangat menyenangkan, pesta yang setelah usai tidak menimbulkan luka dan semoga demokrasi di negara kita ini menjadi demokrasi yang menyenangkan...
PenulisÂ
Rizka kurniawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H