Prinsip Special and Differential (SDT) World Trade Organization (WTO) secara teori dibentuk untuk mencapai kesejahteraan bagi negara berkembang. Instrumen pembeda ini sesuai dengan konsep keadilan John Rawls bertajuk "justice as fairness". Namun, beberapa metode yang dirancang dalam implementasinya belum berhasil memberi dampak signifikan dalam membantu negara berkembang mencapai keadilan. Bahkan, prinsip ini telah dinilai tidak memiliki perlakuan yang adil dalam tatanan ekonomi global. Tujuan SDT untuk melindungi kepentingan negara terbelakang belum dapat tercapai terutama dengan adanya berbagai gugatan dari negara maju pada WTO ketika prinsip ini diterapkan, termasuk di Indonesia. Maka apakah prinsip ini dapat menjadi alat pembantu negara berkembang, atau masih merupakan alat monopoli negara maju?
Kedudukan World Trade Organization
Perkembangan globalisasi yang menghilangkan jarak geografis dan waktu telah menguatkan hubungan interdependensi antar negara dunia. Persaingan yang ketat menyebabkan peningkatan keinginan negara untuk bekerjasama dalam mencapai keuntungan. Maka, bantuan hukum internasional dibutuhkan untuk menjamin teraturnya sistem tatanan ekonomi demi tercapainya pemerataan kesejahteraan. Instrumen yang digunakan dapat berupa norma hukum, pengambilan keputusan bersama, tata administrasi, maupun organisasi ekonomi layaknya WTO.Â
Dalam perumusan kebijakannya, WTO memiliki beberapa prinsip utama dalam perdagangan bebas. Salah satunya adalah Most Favored Nation (MFN) yang menekankan prinsip non diskriminatif tanpa syarat antar negara anggota. Namun sebagai organisasi perdagangan dunia yang menginginkan pemerataan kesejahteraan ekonomi, disadari bahwa beberapa negara memerlukan perhatian khusus untuk mencapai hal tersebut. Dimana terdapat kesenjangan ketersediaan sumber daya dan tingkat pembangunan antar negara dunia. Hal ini dibuktikan oleh Committee of Trade and Development WTO yang melaporkan kontribusi negara berkembang pada perdagangan dunia hanya berkisar 20 persen. Maka, prinsip tersebut diberi pengecualian terhadap negara berkembang maupun terbelakang (Least Developed Countries/LDCs). Hal ini kemudian direalisasikan melalui klausul Special and Differential Treatment yang bertujuan untuk memudahkan negara berkembang bersaing dalam sistem perdagangan internasional.Â
Prinsip Special and Differential TreatmentÂ
Implementasi prinsip SDT harus didasari beberapa hal, seperti disepakati sebagai pedoman agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi, dapat diselaraskan dengan preferensi pajak nasional, serta diterima dalam praktek hukum perdagangan. Secara umum, hal ini diwujudkan dalam bentuk akses pasar khusus bagi negara berkembang, adanya transisi komitmen WTO, serta bantuan teknis lainnya. Salah satu contoh programnya adalah Generalized System of Preferences yang mengurangi hambatan dagang untuk produk negara berkembang. Prinsip SDT memuat 145 ketentuan, dimana 22 diantaranya berfokus pada LDCs. Sekretariat WTO membagi berbagai perjanjian tersebut ke dalam enam kategori, yaitu ketentuan yang akan meningkatkan kesempatan dagang negara berkembang, menghendaki negara anggota untuk melindungi kepentingan negara berkambang, menyediakan fleksibilitas mengenai instrumen kebijakan, menyediakan masa transisi, adanya bantuan teknis, serta ketentuan khusus bagi LDCs.Â
Namun pada realitanya, prinsip ini telah menumbuhkan beberapa keraguan terutama karena cenderung belum membantu infant industry negara LDCs dalam persaingan pasar internasional. WTO juga tidak mendeskripsikan kriteria yang dianggap sebagai negara berkembang maupun LDC, sehingga pengelompokan digantungkan pada negara anggota. Ambiguitas definisi ini menyebabkan implementasi prinsip SDT yang kurang tepat sasaran. Sebab negara berkembang dan terbelakang seharusnya memiliki berbagai tingkatan di dalamnya yang menuntut perbedaan perlakuan pada tiap level. Meskipun tujuan akhirnya adalah keadilan, memukul rata sistem SDT berpotensi aplikasi ketentuan yang tidak tepat.Â
Selanjutnya terdapat persoalan daya mengikat hukum yang lemah sebab tidak dikodifikasi dalam basis norma hukum, melainkan sebatas hasil pertimbangan politik. Kerentanan ini akan memperlemah proses penegakan hukum dan mengakibatkan perselisihan terutama dengan karakter proteksionis negara maju. Dimana salah satu penyebab kemajuan pembangunan masih jauh dari target adalah hambatan negara maju yang tidak kooperatif dengan perlakuan khusus SDT. Maka persoalan lainnya muncul ketika pada akhirnya negara berkembang tidak dapat mendesak negara maju maupun bersandar diri pada prinsip SDT dengan tiadanya daya ikat hukum yang kuat.
Seperti halnya pembahasan hambatan pembangunan negara berkembang dan miskin melalui Deklarasi Doha pada November 2001 di Konferensi Tingkat Menteri WTO keempat. Pada penyusunannya, terdapat beberapa peraturan yang sulit diterima oleh kedua pihak, yaitu negara maju dan berkembang. Salah satu halangan terbesar dalam kesepakatan agenda Doha adalah negara maju yang menghendaki proteksi pada produk domestiknya. Sedangkan hal tersebut, terutama pada sektor pertanian, akan menghalangi negara berkembang dalam bersaing di pasar. Perbedaan kepentingan tersebut yang kemudian juga menyulitkan lancarnya implementasi prinsip SDT. Sebab meskipun terdapat perlindungan dari WTO, negara-negara maju tetap dapat melakukan berbagai hambatan.
Praktek Prinsip Special and Differential Treatment di Indonesia
Penerapan yang kurang efektif ini juga dialami oleh Indonesia pada sengketa Mobil Nasional (Mobnas). Hal ini diawali ketika pemerintah ingin mengembangkan industri otomotif domestik dengan memproduksi Mobnas bersama PT Timor Nusantara. Mobnas diberi keringanan pajak dan bea masuk dengan syarat 60 persennya merupakan hasil produksi kandungan lokal. Namun ketika pemerintah mengeluarkan Keppres No. 42 Tahun 1996 yang mengizinkan impor Mobnas dalam bentuk jadi, beberapa negara menunjukkan reaksi negatif.Â