Peringatan maulud Nabi Muhammad SAW sudah menjadi rutinitas sejak ratusan tahun yang lalu. Di masjid, di instansi pemerintahan, di sekolah, di lembaga-lembaga keagamaan dan kemasyarakatan.
Kegiatan maulud ini hampir pasti dipenuhi dengan bermacam-macam bentuk makanan dan buah-buahan. Bahkan beberapa tahun terakhir juga lengkap dengan barang-barang dapur dan perabotan rumah tangga lainnya, seperti sodet, wajan, gayung, sikat, dan lain sebagainya.
Bukan hanya benda-benda konsumtif dan nonkonsumtif (yang dijadikan persembahan) yang mengalami perubahan semakin variatif. Bentuk kegiatannya pun lebih beragam. Jika di masa lalu mungkin sekedar berkumpul dan membaca diba', sekarang lebih banyak disisipi dengan pengajian umum seperti ceramah agama, seni musik hadrah. Dan yang sempat menyorot perhatian, diselingi tari-tarian 'islami'. Yang terakhir, pernah menjadi pro-kontra mengenai relevan tidaknya terhadap substansi peringatan maulud itu sendiri. Terutama apabila kegiatan tersebut  dilaksanakan oleh lembaga pendidikan madrasah dan sekolah dasar, penampilan tari-tarian ini menjadi salah satu alternatif hiburannya.
Tak diragukan, kegiatan maulud sendiri juga menimbulkan perdebatan bertahun antara kelompok 'islam budaya' dengan kelompok 'anda sudah tahu'. Perdebatan ini muncul dan hilang kembali seperti musiman.
Salah satu penganut dan pendukung budaya maulud adalah jama'ah Nahdlatul Ulama. Mereka memberikan argumentasi beragam tentang bolehnya (juga pentingnya) memperingati Maulid Nabi SAW.
Dan nampaknya usaha mempertahankan keberadaan acara maulud ini berhasil dengan bukti bahwa hingga hari ini peringatan ini semakin antraktif dan kreatif serta variatif.
Tapi dalam pandangan pribadi penulis, kegiatan peringatan Maulid Nabi tersebut, walau pun mampu bertahan dari gempuran vonis kebid'ahan, secara perlahan mulai kehilangan marwahnya. Kegiatan yang seharusnya (setidaknya membaca diba' bersama-sama) hampir tidak nampak lagi. Mereka yang membaca hanya vokalis-vokalis hadrah yang memang menghafal, sementara masyarakat umum lainnya hanya ikut serta pada bacaan-bacaan tertentu.
Anda bisa mengoreksi saya dengan menanyakan pada anak-anak, seberapa banyak dari mereka yang menghafal bait-bait barzanji? Keadaan tersebut jauh berbeda dengan jaman kami saat masih anak-anak.
Pada beberapa momen, permainan musik hadrah atau gambusnya menjadi lebih menonjol dari pada acara mauludnya sendiri. . Bahkan sesi paling dinantikan justeru adalah ajang rebutan makanan dan barang-barang yang disediakan.
Setan memang tak mampu membendung aktifnya kegiatan rutin ini, tapi ia memang diakui lihai. Dengan tidak bisa menghentikan, maka dia membiarkannya tetap berjalan, namun dengan secara perlahan dibelokkan. Kita perlu prihatin, semoga acara yang sebenarnya adalah tuntunan jangan sampai menjadi tontonan.