Mohon tunggu...
Aidi Kamil Baihaki
Aidi Kamil Baihaki Mohon Tunggu... Guru - Berusaha melinearkan membaca dan menulis

Memandang literasi sebagai kegiatan positif yang serius atau pun bermain-main.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diam Adalah Emas

7 Mei 2023   18:21 Diperbarui: 7 Mei 2023   18:38 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik untuk membahas judul di atas, Diam adalah emas. Maksudnya, diam mempunyai nilai berharga sama seperti emas adalah benda berharga. Tapi berharga bagi siapa?

Saat menulis ini baru saja saya membuka aplikasi whatsapp. Beberapa hari kemaren saya bergabung ke suatu grup WA yang isinya tentang mentoring kaya. Setelah menyadari bahwa sekitar 2 tahun lalu pernah bergabung dengan grup yang serupa, saya memutuskan untuk keluar. Sebab isi dari semua mentoring itu sudah pernah saya dapatkan, meskipun dari orang yang berbeda.

Tiba-tiba admin grup japri ke saya, "Bagus. Lebih baik keluar dari grup".

Kalimat itu saya tanggapi positif. Saya mengira dia menghargai saya dengan keputusan keluar dari grup dari pada tetap di sana dan bikin onar. Saya membalas chatnya, "Terima kasih atas pengertiannya, Pak!"

Ternyata respon berikutnya di luar dugaan. Dia membalas, "Maaf, saya tidak mengerti, kok ada orang menolak ilmu."

Kalimat tersebut padat dan menohok. Kalimat yang ditulis oleh seorang mentor. Saya tak habis pikir.

Kemudian saya membalasnya, "Keluar dari grup bukan berarti menolak ilmu. Banyak sekali ragam ilmu, apa yang anda sampaikan bukan satu-satunya ilmu. Lebih tepat saya katakan, saya keluar grup karena memilah ilmu. Ibaratnya saya adalah anggota pasukan pemanah, ya tidak memerlukan pelajaran menyumpit."

Beberapa menit kemudia dia membalas, "Anda terlalu cepat menyimpulkan!"

Saya tersenyum masam. 

Saya sudah pernah bergabung di grup serupa, hingga lebih separuh materi mentoring sudah saya download, lalu merasa tidak cocok dan keluar. Entah siapa yang terlalu cepat mengambil kesimpulan: Saya menyimpulkan tentang konten grup, atau kesimpulan dia tentang saya?

Akhirnya saya memilih diam.

Dan ketika saya menulis tulisan ini, isteri tiba-tiba berujar setengah marah, "mau tidur main hape, bangun tidur masih ke hape lagi. Hidup kok hanya untuk hape."

Dia benar-benar tidak tahu isi hape saya. Memang sengaja saya menguncinya karena kuatir ada beberapa aplikasi yang diacak oleh anak atau isteri yang memang masih pemula.

Saking pemulanya, dia hanya tahu hape untuk facebook dan WA. Di facebook, biasanya dia menonton live jualan online, atau menonton Drakor dari suatu link (yang saya tidak tahu dapat dari mana, karena saya memang tidak pernah merecoki hapenya).

Menganggap saya hanya 'main hape' sama saja seperti dia 'main hape' jelas adalah kesalahan fatal. Tapi saya memilih untuk diam.

Diam adalah emas, tapi emas bagi siapa?

Bagi saya sendiri, rasanya pahit. Melebihi pahitnya jamu. Melebihi getirnya asam dicampur jeruk lemon sekaligus.

Jika saya menjawab, sudah pasti ada dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama adalah dia mengerti apa yang saya lakukan.

Kemungkinan kedua, dia menganggap saya hanya beralasan. Jika ini yang terjadi, maka perang mulut sangat bisa dimungkinkan.

Ya, mungkin diam adalah emas. Tapi bisa berakibat saya dianggap tidak mengacuhkannya. Diam tanpa penjelasan juga bisa memperburuk situasi.

Diam adalah emas. Bukan bagi saya, juga bukan bagi dia. Tapi bagi keberlanjutan hubungan yang mulus-lancar ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun