Akhirnya saya memilih diam.
Dan ketika saya menulis tulisan ini, isteri tiba-tiba berujar setengah marah, "mau tidur main hape, bangun tidur masih ke hape lagi. Hidup kok hanya untuk hape."
Dia benar-benar tidak tahu isi hape saya. Memang sengaja saya menguncinya karena kuatir ada beberapa aplikasi yang diacak oleh anak atau isteri yang memang masih pemula.
Saking pemulanya, dia hanya tahu hape untuk facebook dan WA. Di facebook, biasanya dia menonton live jualan online, atau menonton Drakor dari suatu link (yang saya tidak tahu dapat dari mana, karena saya memang tidak pernah merecoki hapenya).
Menganggap saya hanya 'main hape' sama saja seperti dia 'main hape' jelas adalah kesalahan fatal. Tapi saya memilih untuk diam.
Diam adalah emas, tapi emas bagi siapa?
Bagi saya sendiri, rasanya pahit. Melebihi pahitnya jamu. Melebihi getirnya asam dicampur jeruk lemon sekaligus.
Jika saya menjawab, sudah pasti ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah dia mengerti apa yang saya lakukan.
Kemungkinan kedua, dia menganggap saya hanya beralasan. Jika ini yang terjadi, maka perang mulut sangat bisa dimungkinkan.
Ya, mungkin diam adalah emas. Tapi bisa berakibat saya dianggap tidak mengacuhkannya. Diam tanpa penjelasan juga bisa memperburuk situasi.