Saya membayangkan, betapa malunya saya sebagai orang tua jika anak itu adalah anak saya. Jadi saya sepakat bahwa ontalan adalah tradisi yang negatif.
Tetapi pemahaman itu akhirnya berubah kembali setelah mendengar saran dari si Mbah.
"Berikan ontalan meskipun sedikit. Itu agar anak-anak termotivasi untuk terus bersilaturrahim. Sebab bagi anak-anak, apalagi yang paling menarik selain ontalan?"
"Tapi, Mbah... Bukankah itu bisa membentuk jiwa materialistis terhadap jiwa anak-anak?"
"Tidak, asalkan kita melakukan pemahaman yang tepat. Dan itu adalah tugas para orang tua."
Benar juga, walaupun awalnya dalam pemikiran si kecil bersilaturrahim hanya berorientasi pada ontalan, tetapi itu tidak akan menjadi pemikiran paten sampai dewasa. Sedangkan budaya silaturahminya tetap akan terjaga.
Sehingga jikapun tradisi ontalan membentuk mental pengemis, itu sifatnya hanya sebentar, dan akan berubah seiring kematangan perkembangan jiwanya. Sementara kebiasaan saling berkunjung antar kerabat akan tetap terpatri dalam jiwanya.
Hampir di setiap tindakan kita, pasti ada hal positif dan negatif. Jangan karena kenegatifan yang secuil kemudian kita tidak melakukan tindakan yang seharusnya, padahal sisi positifnya nyata-nyata lebih besar.
Ya, orang tualah yang akan mengambil peran memberikan pengertian pada si kecil bahwa ontalan semata-mata adalah bonus dalam bersilaturrahmi. Yang namanya bonus, ada dan tidaknya tergantung kebaikan si pemberi.
Kenyataannya, kita sebagai orang tua justeru melakukan kesalahan. Diakui atau tidak, kadang kitalah yang paling berharap terhadap ontalan. Anak kita diperlakukan sebagai kotak amal, dibawa ke sana ke mari dengan motif tersembunyi, mengumpulkan ontalan sebanyak-banyaknya, kemudian uang itu sebagian menjadi milik kita.
Semoga kita menyadari kekeliruan tersebut dan segera memperbaiki diri.
Mari jadikan tradisi ontalan sebagai hal positif untuk memotivasi anak-anak kita agar menjadi orang yang gemar bersilaturrahim.