Mohon tunggu...
Aidi Kamil Baihaki
Aidi Kamil Baihaki Mohon Tunggu... Guru - Berusaha melinearkan membaca dan menulis

Memandang literasi sebagai kegiatan positif yang serius atau pun bermain-main.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tetap Sama dalam Perbedaan

20 April 2023   05:06 Diperbarui: 20 April 2023   05:41 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian kecil orang mengatakan bahwa perginya bulan Ramadlan merupakan kesedihan. Itu disebabkan perginya keluasan berkah yang didapat selama bulan ini. Namun akhir dari bulan ini nyata selalu dinantikan oleh kaum muslimin.

Akhir dari bulan puasa adalah pergantian menuju bulan Syawal, ditandai dengan terlihatnya hilal di ufuk barat.

Hilal adalah wujud anak bulan, atau permukaan bulan yang terlihat tipis.

Baca juga: Seabad NU

Dalam tahun Qamariyah, pergantian bulan ditandai dengan konjungsi (kesejajaran) antara Matahari, Bulan dan Bumi.

Sudah sering terjadi perbedaan waktu dalam menentukan akhir bulan Puasa. Biasanya ummat Muhammadiyah menggunakan metode hisab untuk menentukan waktu. Entah itu waktu Syawal atau pun dalam menentukan waktu-waktu shalat.

Sementara Nahdlatul Ulama mengedepankan metode rukyah atau penglihatan.

Tentunya perbedaan ini semakin lama semakin dianggap biasa karena kaum mayoritas muslimin mulai memahami cara kerja masing-masing metode.

Cara Muhammadiyah dianggap lebih modern karena perhitungannya berdasarkan keilmuan astronomis, dan cara NU dianggap tradisional karena tetap mengacu pada cara-cara jaman dahulu ketika perhitungan peredaran Bulan terhadap Bumi belum dikenal kaum muslimin.

Dengan cara Muhammadiyah, tanggal 1 Syawal bisa ditentukan bukan hanya untuk hari esok, bahkan terhadap puluhan tahun berikutnya. Artinya, bagi mereka, satu Syawal sudah pasti.

Baca juga: Sunyinya Rindu

Hal di atas berbeda dengan NU, 1 Syawal bersifat tentatif. Tetapi bukan berarti NU tidak memahami cara perhitungan astronomis. Banyak pakar-pakar NU yang menguasai perhitungan tersebut tanpa perlu saya rinci nama-nama mereka.

Apakah cara menghitungnya berbeda sehingga hasil ketentuannya tidak sama?

Ternyata bukan demikian.

Misalnya di tahun 2023 ini, kedua organisasi keagamaan ini sama sepakat tentang keberadaan hilal. Bahkan kenampakannya terukur dalam derajat yang sama. Tapi kenapa masih berbeda? Sebab NU mengikuti kesepakatan pemerintah (Kementrian Agama) bersama departemen agama negara lainnya, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, (ini disebut 'Kriteria Baru Kemenag RI dalam kesepakatan New Mabims) bahwa hilal dianggap ada jika memenuhi syarat kenampakan 3 derajat atau lebih. Sehingga walau pun nanti sore sebagian orang dapat menyaksikan hilal, tetapi karena ukuran derajat kenampakannya masih di bawah 3 derajat, hilal dianggap tidak ada. Tidak memenuhi syarat.

Jadi perbedaan sebenarnya adalah pada prinsip bagaimana mendeskripsikan tentang hilal, bukan pada metode hisabnya.

Abdul Wahab Ahmad, salah satu pengurus di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, menyatakan pendapatnya dengan menyitir sebuah hadits demikian:

(2/ 762)

: : :

"Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya (lagi). Apabila hilal terhalang awan atas kalian, maka hitunglah menjadi (genap) 30 hari.I." (2/ 762))

  : :

"Apabila kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah. Apabila kalian melihatnya (lagi), maka akhirilah puasa. Apabila hilal terhalang awan, maka hitunglah menjadi 30 hari."

Sehingga yang menjadi pedoman NU dalam menentukan tanggal 1 Syawal adalah penglihatan hilal secara inderawi, bukan berdasarkan perhitungan. Bahkan andai pun secara hisab hilal berada lebih dari posisi 3 derajat di ufuk barat, jika tidak ada yang bisa melihatnya maka hilal dianggap tidak ada. Jadi prinsip melihat hilal itulah yang diutamakan, bukan pengetahuan tentang bagaimana posisi hilal.

Menurut Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Natsir, perbedaan ini tidak perlu diperdebatkan, sebab masing-masing mempunyai argumen yang sama-sama kuat. Tetapi dia berharap bahwa suatu saat kelak, metode modern ini akan dipakai oleh semua umat muslim tanpa terkecuali. Sama halnya dengan cara menentukan waktu shalat yang sudah bisa ditentukan walau pun dalam kondisi tidak terlihat Matahari (misalnya disebabkan mendung yang tebal).

Harapan tersebut bisa saja terjadi. Bukankah NU sebenarnya sudah menggunakan perhitungan astronomis untuk menentukan waktu shalat? Bukankah sudah selayaknya menentukan awal dan akhir Ramadlan juga menggunakan metode yang sama? Wallahu a'lam.

Pertanyaan paling menyentil adalah, Bagaimana hukumnya orang NU yang mengikuti ketetapan Muhammadiyah?

Saya jawab, Boleh saja. Syaratnya hanya perlu mengkoreksi keanggotaannya dari NU menjadi Nuhammadiyah (ini bukan salah tulis, Nuhammadiyah adalah istilah perpaduan antara NU dengan Muhammadiyah.

Di medsos tersebar meme, "Ternyata NU dan Muhammadiyah bersepakat bahwa hari Jumat tanggal 21 April adalah Hari Kartini."

Keduanya juga bersepakat bahwa pada tanggal 21 April akan dilaksanakan shalat Jumat.

Dan yang paling tidak bisa dipungkiri, antara NU dan Muhammadiyah tetap memiliki kesamaan, yaitu keduanya berhari raya pada tanggal 1 Syawal.

Kapan pun anda melaksanakan shalat Idul Fitri, saya mengucapkan minal 'aidzin wal faizin. Selamat hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun