Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengudap Serangga, Solusi Gizi dan Tantangan Budaya

30 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 29 Januari 2025   13:23 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengkonsumsi tonggeret. (AFP/GETTY IMAGES NORTH AMERICA /CHIP SOMODEVILLA via KOMPAS.ID)

Serangga, sumber protein masa depan yang bergizi dan ramah lingkungan, siap ubah persepsi kuliner, atasi masalah pangan dunia.

Serangga sebagai sumber makanan. Ya, serangga! Makhluk kecil yang selama ini mungkin hanya kita lihat sebagai hama atau serangga pengganggu, ternyata menyimpan potensi besar sebagai sumber makanan yang bergizi dan berkelanjutan.

Sumber Nutrisi Super?

Mungkin kamu bertanya-tanya, "Serangga? Apa tidak salah?" 

Saya yakin, sebagian besar dari kita mungkin memiliki reaksi yang sama. Tapi, jika kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. 

Serangga, ternyata memiliki kandungan protein dan nutrisi yang luar biasa, bahkan melebihi sumber protein konvensional seperti daging sapi atau ayam. 

Bayangkan, hanya dengan mengonsumsi beberapa ekor jangkrik, kita bisa mendapatkan protein yang sama banyaknya dengan makan steak daging sapi.

Hal ini bukan hanya isapan jempol belaka. Penelitian dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menunjukkan bahwa serangga adalah sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik. 

Seperti yang tertulis dalam laporan FAO yang berjudul "Edible insects: future prospects for food and feed security" (2013), serangga mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. 

Kandungan nutrisi yang lengkap ini menjadikan serangga sebagai solusi potensial untuk mengatasi masalah malnutrisi dan kekurangan protein, terutama di negara-negara berkembang di mana akses terhadap sumber protein hewani masih terbatas.

Budidaya Serangga Ramah Lingkungan

Selain nilai gizinya yang tinggi, serangga juga merupakan sumber makanan yang ramah lingkungan. 

Budidaya serangga membutuhkan lahan yang lebih sedikit, air yang lebih sedikit, dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan peternakan konvensional. 

Bayangkan, untuk menghasilkan 1 kg protein daging sapi, dibutuhkan lahan yang jauh lebih luas dan air yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan menghasilkan 1 kg protein jangkrik.

Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal "Science of the Total Environment" bahkan menemukan bahwa produksi 1 kg protein jangkrik menghasilkan emisi gas rumah kaca 100 kali lebih rendah dibandingkan dengan produksi 1 kg protein daging sapi. 

Ini adalah perbedaan yang sangat signifikan! Selain itu, efisiensi konversi pakan serangga juga jauh lebih tinggi dibandingkan hewan ternak. 

Artinya, serangga dapat mengubah pakan menjadi protein dengan lebih efisien dibandingkan sapi atau ayam. Hal ini menjadikannya pilihan yang lebih berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan protein global yang terus meningkat.

Tantangan Adopsi Serangga

Meskipun memiliki banyak keunggulan, konsumsi serangga masih menghadapi tantangan besar, yaitu persepsi masyarakat dan stigma budaya

Banyak orang masih merasa jijik atau enggan mengonsumsi serangga karena belum terbiasa. 

Padahal, di beberapa daerah di Indonesia, seperti Gunungkidul, ada ungkrung atau kepompong ulat jati dan belalang goreng yang sudah menjadi makanan yang banyak digemari.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya edukasi dan sosialisasi yang masif untuk mengubah persepsi masyarakat dan memperkenalkan serangga sebagai sumber pangan yang aman, bergizi, dan lezat. 

Kita perlu menunjukkan bahwa serangga tidak hanya enak, tetapi juga sehat dan berkelanjutan. 

Selain itu, inovasi dalam pengolahan serangga menjadi produk makanan yang lebih menarik juga penting untuk meningkatkan daya terima masyarakat. 

Bayangkan, jika kita bisa membuat keripik jangkrik dengan rasa yang enak, pasti banyak orang yang tertarik untuk mencobanya.

Masa Depan Serangga dalam Pangan Global

Melihat potensi besar yang dimiliki serangga, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan serangga akan menjadi bagian penting dari konsumsi pangan global. 

Tren peningkatan konsumsi serangga juga sudah mulai terlihat di berbagai negara, seperti Thailand, Meksiko, dan Belanda. 

Bahkan, beberapa negara sudah memiliki industri pangan serangga yang berkembang pesat.

Di Indonesia sendiri, meskipun konsumsi serangga masih terbatas pada daerah tertentu, tren ini mulai berubah. Beberapa restoran dan produsen makanan mulai menghadirkan menu berbasis serangga sebagai alternatif protein yang inovatif. 

Bahkan, startup di bidang pangan alternatif telah mulai mengembangkan berbagai produk berbahan dasar serangga untuk pasar yang lebih luas. 

Ini adalah perkembangan yang sangat menggembirakan dan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai terbuka terhadap konsumsi serangga.

Kesimpulan

Kita telah melihat betapa besar potensi serangga sebagai sumber pangan alternatif yang bergizi dan berkelanjutan. 

Serangga bukan hanya makanan yang enak, tetapi juga solusi untuk mengatasi masalah gizi global dan mengurangi dampak lingkungan. 

Namun, tantangan terbesar kita adalah mengubah persepsi masyarakat dan stigma budaya yang masih melekat pada konsumsi serangga.

Masyarakat perlu mulai membuka diri terhadap kemungkinan mengonsumsi serangga. 

Mari kita dukung upaya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperkenalkan serangga sebagai sumber pangan yang aman, bergizi, dan lezat. 

Dan yang tidak kalah penting, mari kita terus mendorong inovasi dalam pengolahan serangga menjadi produk makanan yang lebih menarik dan mudah diterima oleh masyarakat.

*** 

Referensi:

  • Van Huis, A., et al. (2013). Environmental impacts of the production of meat and insects. Trends in Food Science & Technology, 33(2), 103-113.
  • Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). (2013). Edible insects: Future prospects for food and feed security. [https:  //www.  fao.  org/3/i3253e/i3253e.  pdf]
  • Kompas.id. (2024, 23 November). Berburu Kuliner Ekstrem yang Hanya Ada Setahun Sekali di Gunungkidul. [https:  //www.  kompas.  id/artikel/berburu-kuliner-ekstrem-yang-hanya-ada-setahun-sekali-di-gunungkidul]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun