Budidaya serangga membutuhkan lahan yang lebih sedikit, air yang lebih sedikit, dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan peternakan konvensional.Â
Bayangkan, untuk menghasilkan 1 kg protein daging sapi, dibutuhkan lahan yang jauh lebih luas dan air yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan menghasilkan 1 kg protein jangkrik.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal "Science of the Total Environment" bahkan menemukan bahwa produksi 1 kg protein jangkrik menghasilkan emisi gas rumah kaca 100 kali lebih rendah dibandingkan dengan produksi 1 kg protein daging sapi.Â
Ini adalah perbedaan yang sangat signifikan! Selain itu, efisiensi konversi pakan serangga juga jauh lebih tinggi dibandingkan hewan ternak.Â
Artinya, serangga dapat mengubah pakan menjadi protein dengan lebih efisien dibandingkan sapi atau ayam. Hal ini menjadikannya pilihan yang lebih berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan protein global yang terus meningkat.
Tantangan Adopsi Serangga
Meskipun memiliki banyak keunggulan, konsumsi serangga masih menghadapi tantangan besar, yaitu persepsi masyarakat dan stigma budaya.Â
Banyak orang masih merasa jijik atau enggan mengonsumsi serangga karena belum terbiasa.Â
Padahal, di beberapa daerah di Indonesia, seperti Gunungkidul, ada ungkrung atau kepompong ulat jati dan belalang goreng yang sudah menjadi makanan yang banyak digemari.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya edukasi dan sosialisasi yang masif untuk mengubah persepsi masyarakat dan memperkenalkan serangga sebagai sumber pangan yang aman, bergizi, dan lezat.Â
Kita perlu menunjukkan bahwa serangga tidak hanya enak, tetapi juga sehat dan berkelanjutan.Â
Selain itu, inovasi dalam pengolahan serangga menjadi produk makanan yang lebih menarik juga penting untuk meningkatkan daya terima masyarakat.Â