Seringkali, kalau kita diskusi soal ini, jawaban yang paling umum dan paling mudah keluar adalah, "Ya, kurang disiplin aja itu pemainnya." Â
Disiplin memang penting, nggak bisa dipungkiri. Disiplin latihan, disiplin menjaga pola makan, disiplin istirahat, itu semua elemen dasar buat jadi atlet profesional.Â
Memang benar, ada cerita-cerita soal pemain yang kurang menjaga diri, suka makan makanan tidak sehat, atau kurang serius dalam latihan.Â
Kebiasaan-kebiasaan buruk seperti ini tentu saja bisa mempengaruhi performa mereka di lapangan.
Tapi, apa sesederhana itu masalahnya? Apa cuma soal disiplin makan dan latihan aja yang bikin karier pemain muda kita jadi nggak panjang umur? Saya rasa tidak.Â
Kalau cuma masalah disiplin, kenapa ada pemain lain yang dengan masalah disiplin yang sama, tapi masih bisa sukses? Atau kenapa pemain yang awalnya disiplin, tiba-tiba performanya menurun drastis?Â
Pasti ada faktor-faktor lain yang lebih dalam dan lebih kompleks dari sekadar disiplin.
Jeratan Psikologis dan Trauma Cedera
Tekanan mental dan psikologis yang dihadapi pemain sepak bola profesional itu luar biasa besar. Apalagi kalau pemain muda yang dari awal sudah dipuja-puja dan diharapkan banyak orang.Â
Ekspektasi dari publik, tekanan dari klub dan pelatih, tuntutan untuk selalu tampil sempurna di setiap pertandingan, itu semua bisa jadi beban berat yang menumpuk di pundak mereka.Â
Belum lagi persaingan ketat di dalam tim, ketidakpastian kontrak, dan risiko kegagalan dalam karir. Semua ini bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi.
Kompas pada 2023 menyoroti risiko burnout yang mengintai pemain muda akibat tekanan dan eksploitasi latihan yang berlebihan.Â
Burnout ini adalah kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional yang ekstrem, yang membuat pemain kehilangan motivasi, minat, dan semangat untuk bermain sepak bola.Â
Kebayang, di usia emas yang seharusnya lagi on fire, pemain malah merasa capek dan kehilangan gairah?
Selain tekanan mental, momok cedera juga jadi ancaman serius bagi karier pemain. Sepak bola adalah olahraga dengan kontak fisik yang tinggi, risiko cedera mengintai tiap saat.Â
Cedera parah bisa memupus mimpi seorang pemain, atau setidaknya menghambat perkembangan karirnya dalam waktu yang lama.Â
Bahkan, riset yang dilakukan oleh PFA (Asosiasi Pesepak Bola Profesional) menemukan bahwa rasa takut cedera itu sendiri bisa mempengaruhi kesehatan mental pemain.Â
Lebih dari dua pertiga pemain yang disurvei (68%) mengatakan bahwa ketakutan akan cedera mempengaruhi kesehatan mental mereka, dan 45% merasa performa mereka di lapangan juga terpengaruh.Â
Pemain jadi ragu-ragu, tidak berani bermain lepas, dan performanya menurun.Â
Trauma cedera ini bisa jadi luka psikologis yang dalam, yang sulit disembuhkan dan bisa menghantui pemain sepanjang karirnya.
Sistem Pembinaan Usia Muda yang Belum Sempurna
Fondasi sepak bola yang kuat itu ada di pembinaan usia muda. Kalau pembinaan usia mudanya bagus, pemain-pemain yang dihasilkan juga akan berkualitas.Â
Sayangnya, sistem pembinaan usia muda kita masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.Â
Pengamat sepak bola, Rossi Rahardjo dalam artikel Kompas, juga menyoroti bahwa pembinaan sepak bola usia muda di Indonesia selama ini kurang maksimal.Â
Kurikulum pembinaan di setiap Sekolah Sepak Bola (SSB) belum seragam, kualitas pelatih masih bervariasi, dan fasilitas latihan juga belum memadai di banyak tempat.
Akibatnya banyak pemain muda yang secara teknik, taktik, fisik, dan mental belum benar-benar siap ketika terjun ke level profesional.Â
Rossi Rahardjo menambahkan bahwa di SSB, pelatih lebih sering fokus pada pertandingan (match) daripada mematangkan teknik dan gameplay pemain.Â
Padahal, pertandingan itu seharusnya jadi ajang ujian, bukan satu-satunya metode pembelajaran. Materi pembelajaran yang utama itu ya latihan teknik dasar, taktik, strategi, dan pengembangan kemampuan individual pemain.
Program pemusatan latihan (TC) jangka panjang untuk timnas usia muda juga perlu dievaluasi lagi.Â
Memang, TC penting untuk persiapan tim, tapi kalau terlalu lama, intensitasnya terlalu tinggi, dan kurang terencana dengan baik, justru bisa merugikan pemain.Â
Pengamat sepak bola, Aun Rahman, dalam artikel yang sama, juga menyoroti bahwa timnas kelompok usia muda di era Evan Dimas dulu, setelah juara Piala AFF 2013, justru seperti dieksploitasi dalam persiapan menuju Piala Asia U-19. Â
Program "Tur Nusantara" yang bertujuan untuk mematangkan tim, malah jadi bumerang karena pemain jadi kelelahan fisik dan mental.Â
Aun Rahman menyayangkan aspek psikologis pemain yang kurang diperhatikan dalam program TC tersebut.
Membangun Ekosistem Sepak Bola yang Mendukung
Lalu, bagaimana solusinya? Nggak mungkin kan kita cuma mengeluh dan menyalahkan keadaan terus-terusan? Kita harus cari jalan keluar, dan mulai bertindak untuk memperbaiki situasi ini. Â
Solusinya tentu saja kompleks dan butuh waktu, tapi ada beberapa langkah kunci yang menurut saya penting untuk kita lakukan.Â
Intinya, kita harus membangun ekosistem sepak bola yang lebih sehat dan lebih mendukung perkembangan pemain muda Indonesia.
Memperkuat Fondasi Pembinaan Usia Muda
Langkah pertama dan utama adalah membenahi sistem pembinaan usia muda secara menyeluruh.Â
PSSI sebagai federasi sepak bola harus berperan aktif dalam menyusun kurikulum pembinaan yang terstandarisasi dan komprehensif untuk seluruh SSB di Indonesia.Â
Kurikulum ini harus mencakup semua aspek pengembangan pemain, dari teknik dasar, taktik, fisik, mental, nutrisi, hingga life skill.Â
Kualitas pelatih SSB juga harus ditingkatkan melalui program pelatihan dan sertifikasi yang berkelanjutan. Fasilitas latihan yang memadai juga harus diupayakan, agar pemain muda bisa berlatih dalam kondisi yang optimal.
Aun Rahman menekankan bahwa pembinaan atlet usia muda adalah kunci utama untuk masa depan sepak bola Indonesia.Â
Dengan pembinaan yang tepat, bakat-bakat muda bisa diasah menjadi pemain berkualitas yang siap bersaing di level tertinggi.Â
Pembinaan usia muda yang kuat juga akan meningkatkan standar permainan sepak bola Indonesia secara keseluruhan, dan memperluas basis pemain sepak bola di masa depan.
Perhatian Serius pada Aspek Psikologis dan Kesehatan Mental
Selain pembinaan teknis dan fisik, aspek psikologis dan kesehatan mental pemain juga harus jadi prioritas utama. Klub dan timnas harus memiliki tim psikolog olahraga yang profesional dan kompeten.Â
Tim psikolog ini bertugas untuk memberikan dukungan psikologis kepada pemain, membantu mereka mengatasi tekanan mental, mengelola stres, dan membangun mental yang kuat.Â
Pemain juga perlu diedukasi tentang pentingnya kesehatan mental dan cara menjaga keseimbangan hidup di tengah kerasnya dunia sepak bola profesional.
Rossi Finza Noor, pengamat sepak bola lainnya, mencontohkan kasus Dele Alli, pemain Inggris yang kariernya meredup padahal dulu sangat bersinar.Â
Rossi menyebutkan bahwa masalah mental menjadi salah satu faktor utama penurunan performa Dele Alli. Ini menunjukkan bahwa masalah mental bukan hanya dialami pemain Indonesia, tapi juga pemain di level internasional.Â
Oleh karena itu, perhatian terhadap kesehatan mental pemain adalah investasi penting untuk keberhasilan jangka panjang karir mereka.
Kesimpulan
Meredupnya bintang muda sepak bola Indonesia adalah masalah yang kompleks dan multidimensi. Tidak ada satu jawaban tunggal atau solusi instan untuk mengatasi masalah ini.Â