Mereka berargumen bahwa alasan-alasan tersebut mendasarkan pada konstruksi patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Alasan seperti “istri tidak dapat menjalankan kewajiban” dianggap subjektif dan merujuk pada peran domestik yang secara tradisional dibebankan pada perempuan.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Dr. Nur Rofiah, seorang pemikir feminis muslim, yang dikutip Tirto.id.
Beliau menekankan bahwa perempuan harus dilihat sebagai manusia seutuhnya, dengan hak dan martabat yang sama dengan laki-laki, bukan hanya sebagai alat pemuas seksual atau dinilai berdasarkan kapasitas reproduksinya.
Antara Poligami dan Permasalahan Publik
Selain masalah diskriminasi, Pergub ini juga dikritik karena dianggap tidak relevan dengan permasalahan publik yang lebih mendesak di Jakarta.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah, dalam Tirto.id, mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memprioritaskan kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah krusial seperti banjir, kemacetan, dan kesenjangan sosial.
Argumen ini diperkuat oleh pernyataan Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI, yang diberitakan RRI. Beliau menilai bahwa aturan tentang poligami ASN bukanlah hal yang urgen untuk diatur saat ini.
Fokus pemerintah seharusnya tertuju pada masalah-masalah yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat luas.
Potensi Masalah Turunan: Korupsi dan Maskulinitas Toksik
Kekhawatiran lain yang muncul terkait Pergub ini adalah potensi munculnya masalah turunan, seperti korupsi dan unjuk maskulinitas toksik.
Trubus Rahadiansyah, menyampaikan kekhawatirannya bahwa mekanisme perizinan dari atasan berpotensi disalahgunakan melalui praktik suap.
Selain itu, Pergub ini juga dikhawatirkan dapat disalahartikan sebagai pembenaran untuk praktik poligami yang tidak sehat dan merusak keharmonisan rumah tangga.
Hal ini sejalan dengan informasi yang disampaikan Hukumonline, yang menyebutkan bahwa Pergub ini mengatur batasan-batasan bagi ASN pria yang akan menikah lagi, serta kondisi apa yang dapat diberikan persetujuan dan kondisi apa yang dilarang.