Tokopedia dan Shopee, misalnya, bisa dengan mudah melakukan strategi "bakar uang" untuk memberikan diskon besar-besaran yang jelas sangat sulit untuk diimbangi oleh Bukalapak, yang lebih kecil dan tidak memiliki sumber daya yang sama.
Hal ini diperkuat juga oleh pernyataan Budi, seorang pengamat dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), yang mengatakan bahwa "e-commerce Indonesia didominasi oleh pemain besar seperti Tokopedia dan Shopee, yang memiliki akses ke modal yang lebih besar." (Tirto.id, 18 Oktober 2024).Â
Lihat saja, Tokopedia dan Shopee bisa menawarkan potongan harga sampai 50% lebih, sementara Bukalapak hanya bisa bertahan dengan margin yang semakin kecil.
Dalam situasi seperti ini, Bukalapak memang berada dalam posisi yang sangat sulit.Â
Bahkan, perusahaan besar sekalipun tak bisa menang hanya dengan berpegang pada model marketplace klasik yang hanya menghubungkan penjual dan pembeli.Â
Di dunia yang sudah didominasi oleh teknologi dan inovasi, Bukalapak seakan terlambat menyadari betapa pentingnya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Perubahan Perilaku Konsumen: Dari Marketplace ke Social Commerce dan D2C
Selain faktor persaingan, perubahan perilaku konsumen Indonesia juga menjadi salah satu alasan mengapa Bukalapak harus mengubah arah bisnisnya.Â
Kita semua tahu, kebiasaan belanja masyarakat Indonesia kini semakin berubah. Semakin banyak yang lebih memilih berbelanja langsung dari brand atau toko melalui media sosial, tanpa harus melewati marketplace.Â
Fenomena ini dikenal dengan nama direct-to-consumer (D2C).
Menurut Tirto.id, konsumen Indonesia kini semakin beralih ke model D2C dan social commerce, yang memungkinkan mereka membeli barang langsung dari brand atau melalui media sosial, seperti Instagram atau TikTok.Â
Bagi banyak konsumen, belanja di marketplace seperti Bukalapak mulai terasa rumit dan tidak efisien.Â