Menurut European Union External Action (2020), meskipun institusi pemerintahan baru dibentuk, banyak dari mereka yang tidak sepenuhnya efektif, terutama karena ketidakmampuan untuk mengatasi perpecahan etnis yang mendalam.
Penting untuk dicatat bahwa keberhasilan penguatan institusi di Bosnia sangat bergantung pada kemampuan negara untuk menciptakan sistem yang mampu mengakomodasi semua kelompok etnis yang terlibat dalam konflik.Â
Tanpa sistem yang inklusif dan bisa dipercaya, rekonsiliasi menjadi lebih sulit dan instabilitas sosial berpotensi muncul kembali.
Penguatan Institusi dalam Konteks Indonesia: Pembelajaran dari Aceh
Di Indonesia, kita memiliki contoh nyata penguatan institusi dalam proses rekonsiliasi pasca-konflik, yaitu Aceh.Â
Konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade berakhir dengan kesepakatan damai pada 2005.Â
Salah satu aspek penting dari rekonsiliasi di Aceh adalah penguatan institusi lokal dan penggunaan institusi adat yang telah ada sejak lama. Dalam hal ini, peran syariat Islam dan pranata adat menjadi jembatan bagi perdamaian.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan oleh Kompas (2017), keberhasilan rekonsiliasi di Aceh tidak hanya disebabkan oleh kesepakatan damai, tetapi juga karena penguatan lembaga-lembaga lokal yang memberi rasa aman kepada masyarakat.Â
Keberadaan pemerintah daerah yang lebih otonom dan lebih dekat dengan masyarakat Aceh membantu mempercepat proses rekonsiliasi dan pemulihan ekonomi.Â
Selain itu, keadilan restoratif yang mengutamakan perdamaian sosial, bukan hanya hukum formal, menjadi faktor penting dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat.
Pengalaman Aceh menunjukkan bahwa institusi yang kuat tidak hanya berupa lembaga pemerintahan atau hukum, tetapi juga melibatkan lembaga sosial yang lebih mendalam, seperti adat dan budaya lokal.Â
Penguatan institusi ini mampu mencegah konflik yang sama terulang kembali dan menciptakan dasar yang lebih stabil untuk pembangunan jangka panjang.