Blue food menawarkan solusi berkelanjutan untuk krisis pangan global melalui pemanfaatan sumber daya laut yang melimpah.
Ada masa ketika saya merasa pesimis melihat krisis pangan global yang kian mendesak. Pertumbuhan populasi yang pesat dan dampak perubahan iklim seolah mengancam ketahanan pangan di mana-mana.
Namun, di tengah semua itu, Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, memiliki potensi luar biasa untuk memanfaatkan sumber daya laut yang melimpah.
Salah satu solusi yang telah lama dibicarakan adalah blue food, atau pangan biru, yang mencakup semua jenis pangan yang berasal dari perairan, baik laut, payau, maupun tawar.
Di sinilah akuakultur berkelanjutan berperan penting untuk meningkatkan produksi pangan akuatik dan mengurangi dampak lingkungan.
Potensi Produksi Pangan Akuatik
.Blue food seolah memberikan secercah harapan baru di tengah gelapnya krisis pangan.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan Indonesia mencapai angka yang mengesankan, yaitu 24,7 juta ton, dengan sebagian besar berasal dari budidaya.
Ini jelas menunjukkan bahwa kita memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan pangan, baik di dalam negeri maupun untuk pasar internasional. Namun, di balik angka yang menggembirakan itu, ada tantangan yang tak bisa diabaikan.
Rendahnya konsumsi ikan di beberapa daerah dan ketidakadilan dalam rantai pasok menjadi masalah yang harus segera diatasi.
Masyarakat nelayan, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengelolaan sumber daya laut, sering kali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan.