Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pekerja Migran Lombok di Tengah Harapan dan Derita

12 Desember 2024   14:00 Diperbarui: 12 Desember 2024   13:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerja migran Lombok, berjuang mengirim remittance, sementara menghadapi eksploitasi di sektor sawit Malaysia. 

Nasrudin, seorang pekerja migran asal Lombok, kini tengah berjuang di Malaysia, mengais rezeki sebagai pemetik buah sawit. 

Seperti banyak pekerja migran lainnya, ia mengirimkan uang hasil jerih payahnya ke keluarga yang ada di Lombok, dengan harapan anak-anaknya kelak bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik. 

Meski gaji yang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang bisa didapatkan di tanah kelahirannya, Nasrudin, bersama ribuan pekerja migran lainnya, tetap merindukan tanah air mereka. 

Mereka memiliki impian untuk kembali setelah anak-anak mereka sukses dan mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Namun, di balik harapan tersebut, ada banyak tantangan yang mereka hadapi.

Ketergantungan Ekonomi Nusa Tenggara Barat pada Remittance

Pekerja migran asal Lombok, seperti Nasrudin, bukan sekadar mencari penghidupan untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk keluarga mereka yang ada di tanah air. 

Remittance atau uang kiriman yang mereka kirimkan ke keluarga di Indonesia menjadi penopang utama ekonomi banyak rumah tangga di Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Remittance ini, meski memberi dampak positif dalam membantu ekonomi keluarga, menunjukkan ketergantungan yang besar terhadap pekerjaan di luar negeri.

Menurut data yang disajikan oleh BuruhMigran.or.id dan AntaraNews, mayoritas pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat bekerja di sektor perkebunan sawit Malaysia. 

Sektor ini sangat bergantung pada tenaga kerja migran, mengingat kekurangan pekerja lokal. 

Dalam konteks ini, remittance yang dikirimkan oleh pekerja migran tidak hanya membantu keluarga mereka, tetapi juga menjadi salah satu sumber penghidupan yang sangat krusial bagi perekonomian NTB. 

Namun, ketergantungan yang besar terhadap remittance ini membuat daerah tersebut rentan terhadap fluktuasi keadaan di luar negeri. 

Apabila ada kendala atau perubahan dalam pasar kerja internasional, maka kondisi ekonomi daerah ini bisa langsung terdampak.

Namun, ada ironi besar dalam cerita ini. Sementara para pekerja migran Lombok bekerja keras di negeri orang, mereka sering kali harus menghadapi kondisi yang sangat tidak manusiawi. 

Ini adalah masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Eksploitasi Pekerja Migran di Sektor Perkebunan Sawit Malaysia

Pekerja migran asal Indonesia, termasuk yang berasal dari Lombok, sering kali bekerja di sektor kelapa sawit Malaysia dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. 

Banyak di antara mereka yang tidak memiliki dokumen resmi, yang berarti mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum. Tanpa dokumen yang sah, pekerja migran ini sangat rentan terhadap eksploitasi dan risiko kerja paksa.

Sebagaimana dicatat dalam Kompas dan BuruhMigran.or.id, banyak pekerja migran yang terjebak dalam kondisi yang memperburuk kualitas hidup mereka. 

Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang sangat keras, dengan jam kerja yang panjang dan upah yang sering kali tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung. 

Dalam banyak kasus, pekerja migran ini sering kali tidak memiliki akses ke layanan kesehatan atau fasilitas sosial yang memadai. 

Tidak hanya itu, mereka juga terancam diperlakukan dengan tidak adil oleh pemberi kerja atau agen tenaga kerja yang merekrut mereka.

Meskipun sektor sawit membutuhkan banyak tenaga kerja, pekerja migran ini kerap kali terpinggirkan, kehilangan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. 

Pemerintah Indonesia pernah membatalkan rencana pengiriman lebih banyak pekerja migran ke sektor ini, mengingat adanya laporan tentang eksploitasi dan potensi kerja paksa, seperti yang dijelaskan oleh Kompas. 

Kebijakan ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran tidak hanya sebatas ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan hukum yang harus segera diatasi.

Upaya Pemerintah Mengurangi Ketergantungan pada Pekerja Migran

Untuk mengurangi ketergantungan pada remittance dan memberikan peluang lebih baik bagi warga lokal, pemerintah Indonesia mulai membuka peluang kerja di dalam negeri. 

Sebagai contoh, pemerintah telah mencanangkan peluang kerja di Kalimantan yang memberikan alternatif bagi pekerja migran untuk bekerja di dalam negeri tanpa harus merantau ke luar negeri.

Menurut Disnakertrans NTB, pemerintah telah menyediakan berbagai peluang pekerjaan di luar daerah tradisional pengirim pekerja migran, dengan harapan agar warga Lombok dan NTB tidak lagi harus bergantung pada sektor yang penuh risiko di luar negeri. 

Pembukaan lapangan kerja baru ini diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran di daerah tersebut dan memberi kesempatan kepada generasi muda untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa harus mengorbankan waktu dan tenaga jauh dari keluarga.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan Malaysia juga harus diperkuat. 

Pemerintah kedua negara harus memastikan perlindungan bagi pekerja migran, dengan membuka jalur resmi bagi pekerja migran dan menyediakan akses kesehatan serta layanan sosial yang lebih baik. 

Langkah-langkah seperti ini, menurut BBC, penting untuk mengurangi risiko eksploitasi yang terus terjadi.

Perjalanan Panjang yang Belum Selesai

Pekerja migran asal Lombok, seperti Nasrudin, menggambarkan perjuangan keras mencari kehidupan lebih baik di luar negeri, meski terkadang harus menghadapi eksploitasi. 

Remittance memang membantu ekonomi keluarga, tetapi menciptakan ketergantungan jangka panjang. 

Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat perlindungan hukum dan membuka peluang kerja lokal, sambil memastikan kolaborasi antara Indonesia dan Malaysia untuk menciptakan sistem yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan bagi pekerja migran.

***

Referensi:

  • AntaraNews. (2024, December 9). Kisah orang Lombok bertaruh mimpi di negeri jiran. AntaraNews. Retrieved from https: //www. antaranews. com/berita/4522003/kisah-orang-lombok-bertaruh-mimpi-di-negeri-jiran
  • BuruhMigran.or.id. (2015, March 24). Pekerja perkebunan sawit Indonesia dan Malaysia makin termarjinalkan. BuruhMigran.or.id. Retrieved from https: //buruhmigran. or. id/2015/03/24/pekerja-perkebunan-sawit-indonesia-dan-malaysia-makin-termarjinalkan/
  • Kompas.com. (2022, June 1). Indonesia batalkan rencana kirim TKI ke perkebunan sawit Malaysia, takut eksploitasi. Kompas.com. Retrieved from https: //www. kompas. com/global/read/2022/06/01/072900470/indonesia-batalkan-rencana-kirim-tki-ke-perkebunan-sawit-malaysia-takut
  • BBC. (2020, August 31). Indonesia's migrant workers: A rising number leaving for Malaysia. BBC. Retrieved from https: //www. bbc. com/indonesia/dunia-54230290
  • Disnakertrans NTB. (2024, October 10). Gaji Rp 5-13 juta per bulan, ribuan pekerja sawit dari NTB akan isi peluang kerja di Kalimantan. Disnakertrans NTB. Retrieved from https: //disnakertrans. ntbprov. go.id/gaji-rp-5-13-juta-per-bulan-ribuan-pekerja-sawit-dari-ntb-akan-isi-peluang-kerja-di-kalimantan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun