Direktur Eksekutif ASI Ali Rifan menegaskan bahwa bukti TSM sangat sulit dibuktikan, apalagi ketika pemenang justru berasal dari kubu non-penguasa.Â
Pendapat ini diperkuat oleh Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati yang dikutip CNN Indonesia, yang menyatakan bahwa bahkan tingkat partisipasi yang rendah pun tidak bisa dijadikan alasan untuk Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Dalam konteks politik yang lebih luas, posisi Pramono-Rano yang diusung PDIP – partai yang notabene bukan bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) pendukung Prabowo-Gibran – menambah dimensi menarik dalam analisis ini.Â
Menurut kajian yang dimuat di Tribun News, situasi ini justru memperkuat argumentasi bahwa proses pemilihan telah berjalan secara fair dan demokratis.
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran pengawasan publik dalam proses ini.Â
Seperti yang ditekankan oleh para pengamat dalam laporan CNN Indonesia, masyarakat perlu aktif mengawal proses rekapitulasi di tingkat provinsi.Â
Penjagaan bukti C1 dan dokumentasi yang baik menjadi kunci untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas proses pemilihan.
Pengalaman dari Pilpres 2024 yang baru lalu, seperti yang diulas dalam Liputan6, menunjukkan bahwa MK sangat ketat dalam menilai bukti-bukti dugaan pelanggaran pemilu.Â
Bahkan ketika ada tiga hakim yang memiliki pendapat berbeda terkait penggunaan sumber daya negara seperti bansos atau mobilisasi aparatur negara, gugatan tetap ditolak karena kurangnya bukti yang meyakinkan.
Peluang gugatan hasil Pilgub Jakarta 2024 ini membawa kita pada pemikiran yang lebih dalam tentang makna demokrasi.Â
Terlepas dari keputusan untuk mengajukan gugatan atau tidak, yang terpenting adalah bagaimana proses demokratis ini bisa berjalan dengan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.