Gagasan bahwa laki-laki tidak perlu bercerita atau laki-laki harus kuat dan tidak rapuh sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.Â
Pandangan ini semakin diperparah oleh tren di media sosial yang mendorong pria untuk memendam masalah mereka sendiri.Â
Namun berdasarkan Kompas, lebih dari 1,4 juta laki-laki di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, salah satunya disebabkan oleh budaya maskulinitas toksik.Â
Budaya ini mengajarkan laki-laki untuk tidak menunjukkan kerentanan, yang berdampak buruk pada kesehatan mental mereka, memperburuk stigma bahwa berbicara tentang perasaan adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh pria.
Mengkritisi Pandangan Laki-Laki Tidak Boleh Bercerita
Kritik terhadap pandangan bahwa laki-laki tidak boleh bercerita harusnya datang dari berbagai arah. Dari para ahli kesehatan mental hingga mereka yang dekat di kehidupan pria itu.Â
Karena seringkali, setelah berbicara dengan seseorang yang dipercaya, pria merasa lebih ringan, lebih baik.Â
Berbicara bukanlah selalu tentang mencari solusi. Terkadang, hanya dengan berbagi, kita mulai merasakan sedikit kelegaan, atau setidaknya, kita tahu bahwa kita tak sendirian menghadapi beban itu.Â
Sebuah percakapan bisa menjadi ruang untuk mengurai ketegangan, tanpa perlu mencari jawaban, hanya ada kehadiran yang mendengar.
Namun, realitasnya, banyak pria merasa terhambat untuk berbicara karena mereka diajarkan sejak kecil bahwa menangis atau menunjukkan kerentanannya adalah tanda kelemahan.Â
Menurut Psikolog Haryo Widodo, seperti dikutip Kompas, hal ini tidak hanya berlaku pada masalah yang kecil, namun juga pada perasaan yang lebih besar dan lebih kompleks, seperti stres, depresi, atau bahkan perasaan tertekan yang lebih berat.Â
Stereotip ini terbentuk oleh ajaran budaya yang menyebutkan bahwa pria harus selalu kuat, tahan banting, dan tidak boleh terlihat rapuh.Â