Peralatan olahraga bermerk, yang dulunya hanya opsional, kini seolah menjadi kewajiban.Â
Mereka yang ingin ikut tren olahraga seringkali merasa terpaksa membeli barang-barang mahal untuk dapat terlihat berolahraga, meskipun tujuan utama mereka seharusnya adalah menjaga kebugaran tubuh.Â
Misalnya, tumbler atau botol air yang harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga satu juta rupiah, sepatu olahraga yang dirancang khusus dengan harga selangit, atau smartwatch yang menawarkan lebih dari sekedar fungsi dasar, namun lebih untuk status sosial.Â
Di sinilah letak permasalahannya. Olahraga berubah dari kegiatan fisik yang bermanfaat untuk kesehatan menjadi ajang konsumsi barang-barang bermerk dan perasaan eksklusif.
Dampak Eksklusivitas terhadap Partisipasi Masyarakat
Ketika olahraga hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki dana lebih, kita mulai melihat semakin tingginya ketimpangan dalam partisipasi olahraga.Â
Padahal, seperti yang kita ketahui, olahraga memiliki manfaat luar biasa untuk kesehatan fisik dan mental.Â
Olahraga yang seharusnya menjadi kegiatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, kini hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja.Â
Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya tingkat kebugaran jasmani di kalangan generasi muda Indonesia.
Laporan IPO 2023 menunjukkan bahwa hanya 5,04% remaja berusia 16-30 tahun yang memiliki kebugaran jasmani yang baik.Â
Angka ini mencerminkan betapa rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam olahraga, meskipun olahraga kini telah menjadi tren di kalangan anak muda.Â
Kebugaran jasmani yang rendah ini semakin memperburuk ketimpangan sosial, karena mereka yang kurang mampu sering kali terhambat dalam mengakses fasilitas olahraga yang memadai.