Partisipasi dalam Pilkada bukan sekadar angka di atas kertas. Ini menyangkut legitimasi pemimpin yang terpilih.Â
Bagaimana mungkin seorang kepala daerah bisa benar-benar merepresentasikan rakyat jika hanya dipilih oleh sebagian kecil dari mereka?Â
Lebih jauh, minimnya partisipasi juga bisa melemahkan kualitas demokrasi kita.Â
Pemimpin yang terpilih mungkin merasa tidak memiliki tanggung jawab besar terhadap rakyat karena dukungan yang mereka peroleh tidak signifikan.Â
Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu siklus apatisme, di mana masyarakat semakin malas memilih, sementara elite politik semakin bebas menentukan arah pemerintahan tanpa pengawasan publik yang kuat. Â
Hal ini tidak hanya masalah Makassar. Ini adalah fenomena yang mencerminkan kondisi demokrasi lokal di banyak daerah. Tanpa perbaikan nyata, kita bisa kehilangan semangat demokrasi yang selama ini kita banggakan. Â
Membangun Kesadaran dan Kepercayaan Â
Menurut Dr. Sri Mulyani dari Universitas Gadjah Mada, pendidikan politik yang konsisten adalah kunci utama untuk meningkatkan partisipasi pemilih.Â
Pendidikan ini bukan soal teori belaka, tetapi tentang memberikan pemahaman praktis kepada masyarakat bahwa suara mereka benar-benar berarti. Â
Jika di Makassar, saya melihat potensi besar untuk meningkatkan kesadaran pemilih melalui grup informal warga lokal di dunia maya.Â
Memanfaatkan platform media sosial dan komunitas online dapat menjadi strategi efektif dalam sosialisasi Pilkada. Mereka adalah jaringan yang dekat dengan masyarakat dan dapat menjadi jembatan antara informasi pemilu dan warga. Â
Selain itu, media juga harus memainkan peran lebih besar. Tidak hanya sekadar melaporkan berita tentang Pilkada, tetapi juga menyediakan ruang diskusi publik.Â