Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Standar Hidup Versi BPS Perlu Ditinjau Ulang?

23 November 2024   14:38 Diperbarui: 23 November 2024   14:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemiskinan (KOMPAS) 

Apa sebenarnya arti dari hidup layak? Apakah hanya terpenuhi kebutuhan dasar seperti makan tiga kali sehari, atau mencakup lebih dari itu? 

Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan angka Rp1,02 juta per bulan sebagai standar hidup layak di Indonesia pada 2024. 

Namun, angka ini dinilai terlalu kecil untuk merepresentasikan kondisi hidup yang sebenarnya, terutama mengingat biaya hidup yang terus meningkat. 

Penetapan ini memunculkan pertanyaan mengenai relevansi standar BPS dalam mencerminkan kebutuhan riil masyarakat di berbagai aspek kehidupan.

Menghitung Layak dengan Cara yang Tidak Realistis

Hidup layak tidak hanya mencakup kebutuhan dasar seperti makan dan bertahan hidup, tetapi juga meliputi kebutuhan pendidikan untuk anak-anak, biaya kesehatan, hingga fasilitas dasar seperti listrik dan air bersih. 

Namun, standar hidup layak yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tampaknya hanya berfokus pada kebutuhan pokok. Berdasarkan standar ini, masyarakat dianggap cukup sejahtera dengan penghasilan Rp12,34 juta per tahun.

Meski demikian, data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 menunjukkan bahwa masih ada 25 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Standar ini dinilai menciptakan ilusi statistik, di mana pemerintah tampak menunjukkan penurunan angka kemiskinan, padahal kondisi sebenarnya di lapangan berbeda. 

Dengan patokan hidup layak yang rendah, banyak individu yang sebenarnya membutuhkan bantuan justru tidak teridentifikasi sebagai miskin dan harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Beban Buruh yang Semakin Berat

Ilustrasi buruh (Dall-E)
Ilustrasi buruh (Dall-E)
Bagi buruh, standar hidup layak memiliki dampak langsung yang signifikan karena menjadi dasar penetapan upah minimum regional (UMR). 

Ketika standar hidup layak ditetapkan terlalu rendah, otomatis UMR yang dihasilkan juga rendah. Akibatnya, buruh harus bekerja lebih keras, sementara upah yang diterima sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Sebagai ilustrasi, banyak pekerja pabrik menghadapi situasi di mana pendapatan mereka hanya cukup untuk menutupi biaya tempat tinggal dan makanan sehari-hari. 

Kondisi ini menyulitkan mereka untuk menabung atau bahkan mempertimbangkan biaya pendidikan anak di masa depan. 

Jika standar hidup layak terus didefinisikan dengan angka yang minim, peluang buruh untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik menjadi semakin sulit.

Pendidikan dan Kesehatan: Korban Terbesar

Selain buruh, sektor pendidikan dan kesehatan juga terdampak oleh kebijakan terkait standar hidup layak ini. 

Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa pada 2024 lebih dari 4 juta anak mengalami putus sekolah. 

Kondisi ini mencerminkan ketidakmampuan banyak keluarga untuk menanggung biaya pendidikan, bahkan di sekolah negeri yang seharusnya lebih terjangkau. Padahal, pendidikan merupakan fondasi penting untuk masa depan yang lebih baik. 

Tanpa pendidikan yang memadai, generasi muda Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam bersaing secara global di masa depan.

Situasi serupa terjadi di sektor kesehatan. Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 mencatat bahwa hampir 30 persen masyarakat kesulitan mengakses layanan kesehatan. 

Masalah ini tidak hanya disebabkan oleh biaya obat yang tinggi, tetapi juga oleh kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai di berbagai daerah. 

Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan memilih pengobatan alternatif karena biaya di puskesmas dianggap terlalu mahal. 

Jika akses terhadap pendidikan dan kesehatan terus diabaikan, maka sulit untuk memastikan bahwa kebutuhan hidup yang layak benar-benar terpenuhi bagi semua lapisan masyarakat.

Statistik yang Menipu

Bagi masyarakat biasa, seringkali statistik hanya terlihat sebagai angka-angka di atas kertas. 

Namun, angka-angka tersebut sebenarnya memiliki dampak nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Dengan menggunakan standar hidup yang terlalu rendah, pemerintah menciptakan gambaran palsu bahwa kondisi masyarakat sudah membaik. 

Padahal, hal ini justru semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.

Bayangkan, ada sebuah keluarga yang pendapatannya sedikit di atas garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). 

Mereka tidak lagi dianggap sebagai keluarga miskin dan karenanya tidak mendapatkan bantuan sosial, namun tetap kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. 

Keluarga tersebut berada di dalam "zona abu-abu," terjebak di antara tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan, namun juga tidak cukup kaya untuk dapat hidup dengan nyaman. 

Akibatnya, mereka terus terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit untuk diputus.

Permasalahan seperti ini menunjukkan bahwa angka-angka statistik yang dilaporkan tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. 

Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan dan penetapan standar-standar yang digunakan, agar dapat lebih menjangkau dan menyentuh kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.

Apa Solusinya?

Pemerintah perlu melakukan reformasi mendasar dalam cara mereka menghitung dan menetapkan standar hidup yang layak bagi masyarakat. 

Standar tersebut harus mencakup tidak hanya kebutuhan dasar seperti makanan pokok, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih luas, seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan esensial lainnya. 

Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah akan lebih sesuai dan relevan dengan realitas yang dihadapi masyarakat.

Selain itu, masyarakat juga perlu berperan aktif dalam mendorong perubahan ini. Kritik dan suara-suara yang menuntut perbaikan terhadap standar hidup yang selama ini digunakan perlu terus disuarakan, baik melalui media sosial, diskusi-diskusi publik, maupun dukungan terhadap organisasi-organisasi yang memperjuangkan hak-hak kaum buruh dan masyarakat kecil. 

Tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat, perubahan yang diharapkan tidak akan pernah terwujud.

Kesimpulan

Pada akhirnya, standar hidup layak bukanlah sekadar angka-angka di atas kertas. 

Standar ini merupakan cerminan dari bagaimana pemerintah memandang dan memperlakukan rakyatnya. 

Apakah rakyat dipandang sebagai manusia yang berhak hidup sejahtera, atau hanya sekadar angka dalam laporan statistik? 

Standar hidup yang realistis dan inklusif adalah langkah awal yang penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Ketika kita melihat hal ini, satu pertanyaan besar muncul. 

Apakah pemerintah benar-benar peduli akan kesejahteraan rakyatnya, ataukah mereka hanya ingin terlihat baik di atas kertas?

***

Referensi:

  • Tempo. (2024). Standar Hidup Layak Versi BPS.
  • CNBC Indonesia (2024). BPS: Standar Hidup Layak 2024 di Indonesia Rp1,02 Juta per Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun