Tax amnesty, atau pengampunan pajak, adalah kebijakan di mana pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang belum melaporkan atau membayar kewajibannya untuk melunasi pajak tertunda dengan denda lebih ringan dan tanpa sanksi hukum.Â
Tujuannya jelas, ingin meningkatkan penerimaan pajak dan menopang keuangan negara. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar efektif?
Melihat pengalaman sebelumnya, keraguan ini cukup beralasan. Berdasarkan Katadata, tax amnesty pertama pada 2016-2017 justru diikuti penurunan rasio pajak, indikator kunci pengelolaan pajak yang sehat.Â
Pada 2015, rasio pajak tercatat 10,76%, tetapi pada 2017 angkanya turun menjadi 9,89%. Bukannya memperbaiki, hasilnya malah menunjukkan penurunan kinerja penerimaan pajak secara keseluruhan.Â
Ini menjadi pertanda bahwa kebijakan tersebut mungkin tidak memberikan dampak yang diharapkan.
Kenapa Harus Skeptis?
Pemerintah sekarang merencanakan tax amnesty lagi, mungkin mulai dibahas pada 2025. Jaraknya hanya tiga tahun dari tax amnesty sebelumnya di 2022, yang dikenal sebagai Program Pengungkapan Sukarela (PPS).Â
Apakah ini berarti pemerintah mulai kehabisan cara lain untuk meningkatkan penerimaan pajak?
Menurut saya, terlalu seringnya program ini justru memunculkan risiko moral. Kalau pajak terus diampuni, apa insentifnya bagi orang yang patuh?Â
Jangan-jangan malah muncul pola pikir seperti ini: "Tidak apa-apa ngemplang pajak sekarang, toh nanti ada tax amnesty lagi."
Kritik ini juga datang dari para periset Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Melansir MetroTVÂ News, pengampunan pajak yang terlalu sering membuat kredibilitas otoritas pajak tergerus.Â
Kepercayaan publik, terutama dari mereka yang sudah taat pajak, bisa menurun. Akhirnya, orang-orang yang seharusnya ikut berkontribusi malah semakin enggan, karena merasa tidak diperlakukan adil.