Korupsi di Indonesia kerap dianggap sebagai masalah kronis yang sulit diberantas, meski berbagai upaya telah dilakukan.Â
Salah satu langkah andalan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT), sebuah metode yang selama ini diakui efektif untuk menangkap pelaku korupsi secara langsung.Â
Namun, metode ini menjadi sorotan dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK baru-baru ini.Â
Perdebatan mengenai relevansi OTT pun mencuat, memunculkan pertanyaan penting.Â
Apakah metode ini masih efektif dalam pemberantasan korupsi, atau sudah waktunya ditinggalkan untuk beralih ke pendekatan lain?
OTT dan Perdebatannya: Tradisi yang Dipertanyakan
Dilansir dari kanal Youtube Harian Kompas, Johanis Tanak, salah satu calon pimpinan KPK, menjadi sorotan ketika ia menyatakan bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak sesuai dengan aturan hukum.Â
Menurutnya, istilah "operasi" bertentangan dengan definisi "tangkap tangan" yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Â
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah OTT, yang selama ini menjadi andalan dalam memberantas korupsi, benar-benar melanggar ketentuan hukum yang berlaku?
Namun, pendapat ini jelas tidak diterima semua orang. Komjen Setio Budianto, calon lainnya, berpendapat bahwa OTT masih diperlukan, meskipun harus dilakukan secara selektif. Alasannya sederhana, OTT sering menjadi pintu masuk untuk mengungkap kasus korupsi yang lebih besar.Â
Saya rasa, logika ini masuk akal. Bukankah lebih baik menangkap pelaku kecil yang dapat membantu mengungkap ikan besar?
Data Bicara: OTT dan Efek Jera
Berdasarkan data tahun 2024, KPK hanya melakukan dua kali OTT, angka terendah sepanjang sejarah lembaga tersebut.Â
Menurut Detik News (2024), penurunan ini disebabkan oleh fokus KPK pada kasus-kasus besar. Sekilas, strategi ini terdengar bagus, karena menghemat energi untuk menyelesaikan korupsi besar yang lebih signifikan.
Namun, apakah ini cukup? Saya meragukannya. Sering kali, kasus besar dimulai dari penyelidikan kecil.Â
Menurut Bisnis Kabar24 (2024), OTT memiliki efek jera yang signifikan bagi para pelaku korupsi. Koruptor tahu bahwa KPK bisa datang kapan saja, bahkan saat mereka sedang menerima amplop.Â
Jika ini hilang, bukankah kita kehilangan elemen kejutan yang membuat koruptor waspada
Pelajaran dari Kehidupan Sehari-Hari
Mari saya beri analogi sederhana. Bayangkan ada pencuri di lingkungan Anda. Kalau kita hanya menunggu pencuri besar yang merampok rumah, bagaimana dengan pencuri kecil yang mencuri barang di halaman?Â
Bisa jadi, pencuri kecil itu adalah pintu masuk untuk menemukan kelompok pencuri yang lebih besar.
Hal yang sama berlaku untuk OTT. Kasus korupsi besar seperti pencucian uang atau penggelapan dana negara tidak selalu bisa langsung diungkap.Â
Ada proses yang dimulai dari hal kecil, misalnya pejabat menerima suap di ruang tertutup. Tanpa OTT, banyak pintu masuk seperti ini yang akan hilang.
Namun, saya juga paham kekhawatiran Johanis Tanak. Kalau OTT dilakukan sembarangan, risikonya besar.Â
Bayangkan jika OTT digunakan untuk menjatuhkan lawan politik atau menciptakan opini publik yang tidak adil. Bukankah ini juga berbahaya?Â
Maka, menurut saya, jalan tengahnya adalah memperbaiki prosedur OTT agar sesuai dengan hukum. Jika dikelola dengan baik, OTT bisa tetap menjadi alat yang efektif tanpa melanggar aturan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi bukanlah tugas eksklusif KPK, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.Â
Kita harus terus mengawasi, memberikan dukungan, dan menyuarakan kritik yang konstruktif demi memperkuat upaya pemberantasan korupsi.Â
OTT, meski memiliki kelemahan, tetap menjadi salah satu alat penting dalam menangkap pelaku korupsi secara langsung dan memberikan efek jera yang nyata.
Namun, pertanyaannya bukan hanya tentang mempertahankan atau menghapus OTT.Â
Isu ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki prosedur dan memastikan kesesuaian dengan hukum, tanpa mengurangi efektivitasnya sebagai alat pemberantasan korupsi.Â
Di negara seperti Indonesia, di mana korupsi terus menjadi ancaman besar, setiap alat yang tersedia harus digunakan secara bijak dan optimal. Apakah kita siap kehilangan alat seperti OTT dalam melawan korupsi?Â
Atau, lebih penting lagi, apakah kita benar-benar mampu membangun sistem yang mampu menggantikannya tanpa melemahkan integritas pemberantasan korupsi?
***
Referensi:
- Detik News. (2024, Oktober 25). IM57 soal KPK sebut fokus ke kasus besar, 2024 baru 2 kali OTT, rekor buruk.
- Bisnis Kabar24. (2024, Oktober 25). KPK mulai tinggalkan OTT, klaim fokus usut kasus jumbo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H