Korupsi di Indonesia kerap dianggap sebagai masalah kronis yang sulit diberantas, meski berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu langkah andalan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT), sebuah metode yang selama ini diakui efektif untuk menangkap pelaku korupsi secara langsung.Â
Namun, metode ini menjadi sorotan dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK baru-baru ini.Â
Perdebatan mengenai relevansi OTT pun mencuat, memunculkan pertanyaan penting.Â
Apakah metode ini masih efektif dalam pemberantasan korupsi, atau sudah waktunya ditinggalkan untuk beralih ke pendekatan lain?
OTT dan Perdebatannya: Tradisi yang Dipertanyakan
Dilansir dari kanal Youtube Harian Kompas, Johanis Tanak, salah satu calon pimpinan KPK, menjadi sorotan ketika ia menyatakan bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak sesuai dengan aturan hukum.Â
Menurutnya, istilah "operasi" bertentangan dengan definisi "tangkap tangan" yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Â
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah OTT, yang selama ini menjadi andalan dalam memberantas korupsi, benar-benar melanggar ketentuan hukum yang berlaku?
Namun, pendapat ini jelas tidak diterima semua orang.Â
Komjen Setio Budianto, calon lainnya, berpendapat bahwa OTT masih diperlukan, meskipun harus dilakukan secara selektif.Â
Alasannya sederhana, OTT sering menjadi pintu masuk untuk mengungkap kasus korupsi yang lebih besar.Â