Di Batu Bara, pejabat Dinas Pendidikan terlibat dalam percaloan serupa. Angka yang diminta bervariasi, tetapi semuanya jauh di luar jangkauan para guru honorer yang hanya memiliki penghasilan terbatas.
Bayangkan guru yang tidak pernah mengajar tiba-tiba lolos, sementara yang bertahun-tahun mendidik anak-anak dengan sepenuh hati, justru terpinggirkan.Â
Fenomena ini adalah cermin dari ketimpangan sosial yang kita hadapi. Bukan hanya soal korupsi, tapi juga soal bagaimana nilai keadilan semakin pudar dalam sistem pendidikan kita.
Dampak yang Jauh Lebih Luas
Dampak kecurangan ini jauh lebih dalam dari sekadar kerugian bagi guru yang gagal lolos. Pendidikan adalah fondasi bangsa. Jika fondasinya rapuh, apa yang bisa diharapkan dari generasi mendatang?Â
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, mengingatkan bahwa guru hasil kecurangan adalah cerminan buruk bagi siswa. Jika integritas guru diragukan, bagaimana mereka bisa menjadi teladan bagi anak-anak?
Lebih jauh lagi, kualitas pendidikan nasional pun ikut terpuruk. Guru yang tidak kompeten akan sulit menginspirasi murid untuk berpikir kritis, berinovasi, dan berkembang. Ini bukan hanya soal pendidikan, tapi soal masa depan bangsa.
Tidak ada yang lebih mahal dari kerugian kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi, maka usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan akan sia-sia.
Solusi: Reformasi dan Pengawasan Ketat
Lalu, apa yang harus kita lakukan?Â
Menutup mata terhadap masalah ini jelas bukan pilihan. Reformasi mendalam dalam sistem seleksi guru PPPK sangat mendesak.Â
Seleksi berbasis meritokrasi, di mana peserta dipilih berdasarkan kompetensi dan pengalaman, harus ditegakkan.Â
Selain itu, pengawasan yang lebih ketat, termasuk pelibatan lembaga independen, perlu dilakukan untuk memastikan proses berjalan transparan.