Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Citra atau Cidra Paman Birin di Politik Kalsel

15 November 2024   17:02 Diperbarui: 15 November 2024   17:02 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kepala daerah. (KOMPAS) 

Beberapa hari lalu, kabar mengejutkan datang dari Kalimantan Selatan. Sahbirin Noor, Gubernur yang dikenal dengan julukan "Paman Birin," tiba-tiba mengundurkan diri setelah status tersangkanya dalam kasus korupsi dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Langkah ini sontak mengundang banyak pertanyaan. Apakah keputusan ini murni demi menjaga stabilitas pemerintahan? Ataukah ini sekadar langkah politik untuk meredam tekanan hukum dan publik?

Menjaga Citra di Tengah Sorotan

Sebagai seorang pemimpin yang sudah menjabat selama dua periode, Sahbirin Noor tentu memahami betul bagaimana sorotan media dan tekanan publik dapat memengaruhi reputasinya. 

Berdasarkan pendapat M.S. Sidq dari Center for Development Studies Institute, pengunduran diri ini bisa dianggap sebagai manuver politik yang terukur. 

Langkah seperti ini, menurut saya, adalah cara pintar untuk menjaga citra pribadi dan melindungi keluarganya yang kini terlibat dalam kontestasi politik di Kalimantan Selatan.

Namun, ada sisi lain yang membuat saya berpikir. Jika status tersangka telah dibatalkan, kenapa tidak melanjutkan tugas sebagai gubernur? 

Bukankah ini juga bisa menjadi kesempatan untuk menunjukkan komitmen terhadap pemerintahan yang bersih dan transparan?

Pengunduran Diri: Strategi yang Biasa?

Langkah seperti ini bukan hal baru di politik Indonesia. 

Contohnya, mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, yang juga memilih mundur setelah terjerat kasus etik. Saat itu, banyak pihak menilai pengunduran diri Firli sebagai cara untuk menghindari penegakan etik yang lebih ketat. 

Dalam kasus Sahbirin Noor, situasinya sedikit berbeda karena ia berada di tengah dugaan korupsi yang melibatkan dana senilai Rp 12 miliar.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada 2024 mencatat angka 3,85, menurun dari tahun sebelumnya. 

Penurunan ini menunjukkan bahwa publik mulai lebih permisif terhadap praktik korupsi, atau setidaknya skeptis terhadap kemampuan pemerintah untuk memberantasnya.

Di tengah tren ini, langkah mundur seorang pejabat di tengah kasus hukum bisa saja dilihat sebagai upaya untuk menghindar daripada menghadapi persoalan secara langsung.

Apa Dampaknya bagi Publik?

Pengunduran diri Sahbirin Noor dapat menciptakan preseden yang berbahaya. 

Dalam dunia politik kita, langkah seperti ini sering kali dianggap "jalan keluar mudah." 

Dibanding menyelesaikan masalah, tindakan ini justru membuka celah bagi pejabat lain untuk mengikuti pola yang sama. 

Jika ini terus terjadi, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap integritas para pemimpin.

Bayangkan saja, bagaimana anggapan rakyat yang sudah negatif pada sistem hukum dan politik kita jika pengunduran diri seperti ini berulang kali terjadi? 

Padahal, yang dibutuhkan adalah akuntabilitas dan komitmen untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum secara tuntas. Ini bukan sekadar soal citra, tapi soal kepercayaan rakyat yang semakin terkikis.

Akuntabilitas: Harga Mati untuk Pemimpin Publik

Bagi saya, inti persoalan ini sebenarnya sederhana, akuntabilitas. 

Seorang pemimpin harus bertanggung jawab, baik kepada rakyat maupun kepada hukum. 

Pengunduran diri mungkin terlihat sebagai langkah bijak untuk menjaga stabilitas, tapi tanpa proses hukum yang jelas, langkah ini hanya menunda masalah, bukan menyelesaikannya.

Ingat, kepercayaan publik bukanlah sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam. 

Setiap tindakan pejabat publik, terutama dalam kasus seperti ini, memiliki dampak besar terhadap bagaimana masyarakat memandang sistem hukum dan politik di negeri ini.

Kesimpulan

Kasus Sahbirin Noor adalah pengingat bahwa integritas pemimpin publik adalah kunci dari pemerintahan yang sehat.

Langkahnya mundur mungkin bisa diterima dalam konteks tertentu, tapi mari kita tidak lupa bahwa penyelesaian hukum yang tuntas adalah fondasi utama dari keadilan dan transparansi.

Sebagai masyarakat, kita juga punya peran penting untuk terus mengawasi, mengkritisi, dan memastikan bahwa para pemimpin kita tidak hanya sekadar menjaga citra, tapi juga benar-benar bertanggung jawab. 

Apa gunanya pemerintahan yang terlihat stabil di luar, jika fondasinya rapuh karena diabaikannya akuntabilitas?

Jadi, apakah kita puas dengan langkah ini? 

Ataukah kita menginginkan sistem yang lebih kuat dan pemimpin yang lebih berani menghadapi persoalan, bukan menghindarinya? 

Pilihan ada di tangan kita, sebagai warga yang ingin melihat Indonesia lebih baik.

***

Referensi:

  • Tempo.co. (2024). Soal Kasus Firli Bahuri, Ganjar: Pejabat Publik Kalau Jadi Tersangka, Mundur.
  • Tempo.co. (2024). Tiba-tiba Firli Bahuri Mengundurkan Diri Sebagai Ketua KPK, Begini Respons Para Aktivis Antikorupsi.
  • Tirto.id. (2024). Semakin Permisif, Indeks Perilaku Anti Korupsi 2024 Sebesar 3,85.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun