Mereka yang terjebak di dalamnya tidak punya banyak pilihan selain bertahan, meskipun di tempat yang jauh dari kata layak.
Permukiman kumuh seperti di Kolong Jembatan Pakin hanya memperkuat kesenjangan sosial yang selama ini menjadi tantangan besar di kota-kota besar Indonesia, termasuk Jakarta.
Relokasi Layak: Harapan yang Mungkin Masih Jauh
Ketika bicara tentang solusi, relokasi sering kali disebut sebagai pilihan. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menataMenurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, DKI Jakarta telah berhasil mengurangi jumlah RW kumuh dari 16,45% menjadi 9,22% dengan menata 220 RW kumuh pada tahun sebelumnya.
Program relokasi atau penataan kawasan kumuh ini memang terlihat berhasil di beberapa wilayah, tapi tetap saja ada tantangan besar yang harus dihadapi, terutama dalam hal keberlanjutan sosial dan ekonomi warga yang direlokasi.
Jika kita lihat pengalaman di Surabaya, misalnya, ada Program Perbaikan Kampung yang dikelola dengan pendekatan partisipatif.
Program ini tidak hanya berhasil menata kawasan kumuh, tetapi juga melibatkan warga dalam prosesnya, sehingga mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas tempat tinggal yang baru.
Dengan pendekatan ini, tidak ada kesan “asal gusur” atau memindahkan orang tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan budaya mereka.
Relokasi Gratis atau Terjangkau: Solusi atau Tantangan Baru?
Relokasi tanpa biaya sewa atau dengan biaya yang sangat terjangkau mungkin bisa menjadi solusi bagi warga seperti Jumiati.
Pendapat ahli dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan pentingnya konsolidasi tanah yang berkelanjutan dalam kebijakan relokasi kawasan kumuh.
Dengan kebijakan seperti ini, keberlanjutan sosial dan ekonomi warga bisa lebih terjamin. Artinya, mereka tidak hanya dipindahkan ke tempat yang lebih layak, tetapi juga diberikan kesempatan untuk berkembang secara ekonomi tanpa terbebani oleh biaya sewa.