Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merindu Negarawan di Hari Pahlawan

10 November 2024   12:10 Diperbarui: 10 November 2024   12:10 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perayaan hari pahlawan (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA) 

Di Hari Pahlawan, masyarakat Indonesia tak hanya mengenang para pahlawan yang gugur demi kemerdekaan, tetapi juga merenungkan arti dari sosok pemimpin sejati di era modern. 

Negarawan yang memimpin dengan integritas dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi adalah figur yang dirindukan masyarakat, terutama di tengah kenyataan pahit maraknya korupsi

Fenomena ini disoroti dalam jajak pendapat Litbang Kompas, di mana hampir seluruh responden berharap agar penyelenggara negara bertindak layaknya negarawan sejati.

Sebagai orang Indonesia yang pernah menjalani hidup di bawah 6 presiden, saya menyaksikan perubahan politik dan sosial negara kita. 

Tetapi satu hal yang tak kunjung membaik adalah masalah korupsi. Setiap kali saya membuka berita, rasanya tidak pernah absen kasus baru yang melibatkan pejabat atau aparat hukum. 

Mulai dari hakim, pejabat daerah, sampai menteri yang bertugas mengurus hajat hidup rakyat, satu per satu terjerat kasus rasuah yang merugikan negara dan masyarakat. 

Tidak mengherankan jika masyarakat cenderung apatis terhadap pemimpin yang katanya mewakili kepentingan mereka.

Harapan Masyarakat pada Pemimpin Berintegritas

Litbang Kompas mencatat bahwa publik menginginkan pemimpin yang lebih mengutamakan rakyat dan negara dibanding kepentingan pribadi atau partai politik. 

Sebagian besar responden menyebut “negarawan” sebagai sosok yang mampu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. 

Dari sini, tampak jelas bahwa masyarakat merindukan sosok pemimpin yang berani dan jujur, yang mengingatkan kita pada pemimpin-pemimpin di era perjuangan kemerdekaan dulu. 

Sayangnya, harapan ini sering kali terhempas oleh kenyataan.

Menariknya, ketika kita membicarakan tentang definisi “negarawan”, kelompok masyarakat dengan pendidikan tinggi melihat negarawan sebagai sosok yang tidak hanya mengutamakan rakyat, tetapi juga negara secara keseluruhan. 

Artinya bagi mereka, seorang pemimpin yang ideal adalah yang bisa menyeimbangkan kedua kepentingan ini tanpa mencampuradukkan kepentingan pribadi atau kelompok. 

Tetapi pertanyaannya, di mana kita bisa menemukan sosok seperti itu di tengah kondisi politik kita saat ini

Dampak Korupsi Terhadap Kepercayaan Publik

Penurunan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2024, yang tercatat hanya sebesar 3,85 dari 3,92 pada tahun sebelumnya, adalah indikasi bahwa permisivitas masyarakat terhadap korupsi semakin meningkat (Badan Pusat Statistik, 2024). 

Di sisi lain, Transparency International melaporkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mandek di angka 34 dari skala 100 pada tahun 2023, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara (Transparency International, 2023). 

Ini adalah peringatan keras. Angka-angka ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah berada pada titik kritis.

Tentu saja, korupsi yang melibatkan berbagai tokoh penting seperti mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, semakin memperkuat pandangan bahwa korupsi adalah masalah sistemik di negeri ini. 

Thomas ditangkap karena kasus korupsi impor gula yang menyebabkan kerugian besar bagi negara (Reuters, 2024). 

Saya berpikir, jika seorang pejabat yang seharusnya menjadi contoh moral justru terlibat dalam praktik yang mencederai kepercayaan rakyat, bagaimana masyarakat bisa percaya pada institusi yang mereka wakili?

Kasus ini hanyalah puncak gunung es. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya 791 kasus korupsi yang melibatkan 1.695 tersangka pada tahun 2023. 

Jumlah ini meningkat signifikan dari tahun sebelumnya (Kompas, 2024). 

Bayangkan, dalam setahun, hampir dua ribu orang yang dipercaya mengelola anggaran publik justru menyalahgunakannya. Ketika melihat data seperti ini, tidak heran jika masyarakat semakin skeptis.

Mengapa Reformasi Hukum dan Pengawasan Dibutuhkan?

Melihat fakta-fakta ini, rasanya mendesak bagi kita untuk membicarakan reformasi hukum dan pengawasan yang lebih ketat. 

Menurut pendapat para pakar di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), persepsi negatif terhadap korupsi tidak hanya memengaruhi kepercayaan publik, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian negara. 

Investor akan cenderung menghindari negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi karena risiko yang lebih besar (CSIS, 2024). Pada akhirnya, yang dirugikan bukan hanya masyarakat yang terpinggirkan, tetapi juga ekonomi negara secara keseluruhan.

Jika hukum hanya sekadar macan kertas yang tidak mampu menindak tegas pelanggaran, maka kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan terus menurun. 

Apalagi, melihat contoh bahwa tidak sedikit dari pelaku korupsi ini adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar. Ini menunjukkan adanya kelemahan serius dalam sistem hukum kita yang perlu dibenahi.

Akhirnya, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai masyarakat, kita memang bisa merasa marah atau kecewa, tapi hal itu tidak cukup. 

Kita perlu menuntut adanya transparansi lebih dalam pemerintahan. Kita juga perlu mendukung kebijakan yang mendorong akuntabilitas. 

Memperjuangkan keadilan memang bukan hal mudah, tetapi tanpa adanya dorongan kuat dari masyarakat, perubahan tidak akan terjadi. 

Dengan sistem yang lebih transparan dan pengawasan yang lebih ketat, kita bisa berharap bahwa ke depan, korupsi dapat diberantas dengan lebih efektif.

Pada akhirnya, memilih pemimpin yang bersih, berani, dan berintegritas adalah tanggung jawab kita semua. 

Kita ingin Indonesia yang lebih adil dan makmur, bukan? 

Jadi, mari kita terus kritis, terus awasi, dan terus suarakan keinginan untuk perubahan yang lebih baik.

***

Referensi:

  • Badan Pusat Statistik. (2024, Juli 15). Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2024 sebesar 3,85, menurun dibandingkan IPAK 2023. BPS Indonesia.
  • Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2023. Transparency International Indonesia.
  • Reuters. (2024, Oktober 30). Indonesia arrests former Trade Minister in sugar import graft case.
  • Kompas. (2024, Mei 19). ICW catat 731 kasus korupsi pada 2023, jumlahnya meningkat signifikan. Kompas Nasional.
  • Centre for Strategic and International Studies. (2024). Pemilih Muda, Persepsi Korupsi, dan Pemilu 2024. CSIS Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun