Menurut The Swaddle, throning mengabaikan kejujuran dalam hubungan, karena tujuannya bukan cinta atau ketertarikan tulus, melainkan pencitraan dan reputasi.
Di Indonesia, di mana ketulusan dan kesetiaan dalam hubungan sangat dihargai, throning bisa dianggap melanggar norma. Umumnya, masyarakat menganggap hubungan romantis harus didasari cinta, komitmen, dan kejujuran.Â
Dengan tren throning, nilai-nilai ini mungkin semakin sulit dipertahankan, terutama di kalangan generasi muda yang terpengaruh budaya global dan teknologi.
Keintiman di Era Media Sosial
Tren seperti throning menunjukkan bagaimana media sosial memengaruhi cara orang menjalin keintiman.Â
Menurut Science Advances, media sosial memang mempermudah komunikasi, tetapi ketergantungan berlebih pada platform ini bisa mengurangi kualitas interaksi langsung yang penting dalam hubungan.Â
Dalam hubungan yang terlalu fokus pada media sosial, orang cenderung lebih mementingkan tampilan ketimbang kedekatan emosional.Â
Foto mesra dan unggahan bersama pasangan mungkin terlihat romantis, tapi apakah ada kedalaman emosional di baliknya?
Keintiman sejati tak bisa digantikan oleh jumlah like atau komentar. Hubungan yang sehat butuh saling pengertian, dukungan, dan kepercayaan, bukan sekadar tampilan atau status online.
Kesimpulan
Throning mungkin terlihat unik di kalangan Gen Z, tapi ini mengingatkan kita akan nilai-nilai dasar dalam hubungan: kejujuran, kedekatan emosional, dan ketulusan.Â
Di tengah budaya pencitraan, mempertahankan hubungan yang tulus bukanlah hal mudah.Â
Apakah generasi muda akan kembali memahami makna hubungan yang sejati, atau justru hubungan akan semakin dangkal seiring kemajuan teknologi?