Di Indonesia, perbedaan ideologi semacam ini bukan barang baru.Â
Banyak di antara kita yang terpolarisasi oleh perbedaan pandangan politik, bahkan hingga merambah ke ranah personal dan sosial.Â
Dalam konteks Indonesia, pluralisme seharusnya menjadi elemen penting yang menjembatani berbagai perbedaan tersebut, bukan justru memperlebar jarak.Â
Seperti halnya di AS, tantangan bagi demokrasi Indonesia adalah bagaimana menjadikan pluralisme sebagai kekuatan pemersatu yang mampu menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok tanpa harus mengorbankan kohesi sosial.
Polarisasi Sosial dan Kohesi yang Terancam
Ketegangan ideologis yang mengiringi pemilu AS 2024 menunjukkan bagaimana perbedaan visi antara Harris dan Trump berdampak pada kohesi sosial.Â
Menurut Pew Research Center, pendukung kedua kandidat ini terpecah dalam banyak aspek, mulai dari pandangan tentang keadilan sosial hingga peran negara dalam kehidupan sehari-hari.Â
Perbedaan ini mempertegas polarisasi di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya mengancam kohesi sosial di AS.
Fenomena ini mengingatkan kita pada kondisi di Indonesia, di mana sering kali kampanye pemilu memecah belah masyarakat.Â
Tak jarang kita melihat pertentangan antara kelompok yang mendukung kebijakan populis versus mereka yang menginginkan perubahan progresif.Â
Hal ini serupa dengan pendukung Trump yang lebih konservatif dan cenderung mempertahankan nilai-nilai tradisional, sementara pendukung Harris lebih progresif dan mengusung perubahan.
Dalam masyarakat yang terpecah seperti ini, penting bagi pemimpin untuk memainkan peran sebagai penengah yang mampu merangkul semua lapisan masyarakat.Â