Ketika bentuk-bentuk kekerasan nonfisik ini tidak dipahami dengan baik, anak-anak di pesantren menjadi rentan terhadap perlakuan yang merugikan secara mental dan emosional.
Faktor kedua yang tak kalah penting adalah budaya hierarki yang kuat di lingkungan pesantren. Dalam budaya ini, rasa hormat terhadap guru atau pemimpin sering kali mengaburkan batas antara disiplin dan kekerasan.Â
Banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan karena santri merasa bahwa mereka harus tunduk pada otoritas, atau karena dianggap sebagai hal yang wajar dalam proses pendidikan.Â
Ini tentu menjadi tantangan besar bagi program Pesantren Ramah Anak, karena mengubah budaya memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kerja sama dari berbagai pihak.
Jumlah Kasus Kekerasan: Fakta yang Mengkhawatirkan
Kita tak bisa menutup mata terhadap data yang ada. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan di pesantren masih tinggi.Â
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat dalam sistem online SIMFONI pada tahun 2021.Â
Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang paling umum dialami oleh anak-anak di pesantren.
Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan, apalagi jika kita menyadari bahwa banyak dari kasus ini tidak dilaporkan karena rasa takut atau keengganan untuk menodai nama baik pesantren.Â
Ini menambah kerumitan dalam menyelesaikan masalah kekerasan di lingkungan pendidikan berbasis agama ini.Â
Dalam konteks ini, peran pemerintah dan kementerian terkait menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap laporan kekerasan ditangani secara serius, tanpa ada intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan.