Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengangguran Gen Z, Terkunci dalam Jerat Ekonomisasi

11 Oktober 2024   16:35 Diperbarui: 11 Oktober 2024   16:50 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antrean panjang pencari kerja di Mega Career Expo baru-baru ini di Jakarta, dengan ribuan pemuda berusia 15-29 tahun menanti giliran untuk mencari pekerjaan, seolah-olah menggambarkan realita pahit yang tengah melanda generasi muda di Indonesia. 

Meski angka pengangguran keseluruhan di Jakarta menurun, kenyataannya, sebagian besar yang masih menganggur adalah pemuda.

Ini bukan hanya masalah kurangnya pekerjaan, tetapi masalah sistemik yang lebih dalam: ekonomisasi.

Apa Itu Ekonomisasi?

Bagi banyak orang, kata "ekonomisasi" mungkin terdengar asing, namun dampaknya dirasakan oleh hampir setiap pekerja, terutama generasi muda. 

Konsep ini pada dasarnya adalah upaya perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya produksi sekecil mungkin, termasuk biaya tenaga kerja. 

Menurut penelitian dari GoodStats pada 2023, 70,37 persen pengangguran di Jakarta pada usia 15-29 tahun, atau sekitar 249 ribu orang, adalah hasil dari ketidakseimbangan antara ekspektasi tenaga kerja dan kenyataan yang mereka hadapi di pasar kerja.

Para pemuda ini menghadapi dilema: menerima pekerjaan dengan upah rendah yang tidak sesuai dengan pendidikan dan keterampilan mereka, atau tetap menganggur dengan harapan ada peluang yang lebih baik. 

Dalam konteks ini, perusahaan yang terjebak dalam mentalitas ekonomisasi lebih cenderung menawarkan gaji yang jauh di bawah ekspektasi mereka.

Ini bukan hanya masalah pemuda yang "terlalu pilih-pilih", tetapi lebih kepada realitas yang mereka hadapi.

Dampak Ekonomisasi pada Generasi Muda

Generasi muda, khususnya mereka yang baru lulus sekolah atau kuliah, adalah kelompok yang paling rentan terhadap praktik ekonomisasi ini. 

Menurut laporan dari Tirto.id, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk kelompok usia 15-24 tahun di Jakarta mencapai 17,59 persen pada Agustus 2023. 

Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua, dan ini tidak hanya disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan, tetapi juga oleh ketidakcocokan antara keahlian yang dimiliki para pemuda dan kebutuhan pasar kerja.

Sekolah menengah kejuruan (SMK) dan universitas memang menghasilkan lulusan, tetapi masalah utama yang dihadapi adalah kurangnya relevansi kurikulum dengan dunia kerja yang terus berkembang. 

Para pemuda ini akhirnya tidak siap menghadapi tuntutan perusahaan yang terus mencari efisiensi. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2023), lulusan SMK memiliki TPT tertinggi, mencapai 9,31 persen. 

Artinya, lulusan-lulusan ini adalah yang paling banyak menganggur karena kurangnya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Ketidakcocokan Ekspektasi dan Realita

Di sisi lain, perusahaan, terutama yang berada di bawah tekanan untuk meningkatkan keuntungan, menerapkan ekonomisasi sebagai strategi untuk menekan biaya, termasuk upah tenaga kerja. 

Namun, upah rendah ini sering kali tidak menarik bagi tenaga kerja muda. 

Ada kesenjangan yang jelas antara ekspektasi gaji dari para pekerja muda dan kenyataan yang ditawarkan oleh perusahaan. 

Sebagai contoh, pemuda dengan latar belakang pendidikan tinggi berharap mendapatkan kompensasi yang sebanding dengan investasi pendidikan mereka. 

Tetapi, perusahaan, dalam upayanya untuk meminimalkan biaya, sering kali menawarkan upah yang jauh di bawah standar.

Ini menciptakan lingkaran setan: perusahaan membutuhkan tenaga kerja murah untuk menjaga efisiensi, sementara tenaga kerja muda mencari upah yang layak untuk mencukupi biaya hidup mereka. 

Akhirnya, banyak yang realistis dan terpaksa mengambil tawaran ini. 

Tapi, banyak juga yang lebih memilih menganggur daripada menerima pekerjaan dengan bayaran yang tidak sesuai dengan harapan mereka.

Kebijakan Upah Minimum dan Pelatihan Keterampilan

Lalu, apa solusi yang bisa diambil? 

Salah satu pendekatan adalah reformasi kebijakan upah minimum. 

Upah minimum yang adil akan membantu menyeimbangkan kebutuhan perusahaan untuk efisiensi dengan hak tenaga kerja untuk mendapatkan penghasilan yang layak. 

Menurut artikel dari Tirto.id, reformasi seperti ini sangat diperlukan untuk mengatasi kesenjangan besar antara harapan pekerja dan kenyataan yang mereka hadapi di pasar kerja.

Selain itu, pemerintah dan industri perlu berinvestasi lebih banyak dalam program pelatihan keterampilan yang relevan bagi pemuda. 

Seperti yang dijelaskan oleh GoodStats, pelatihan keterampilan yang tepat, terutama bagi lulusan SMK dan SMA, akan meningkatkan peluang kerja dan mengurangi ketidakcocokan antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

Nilai Ekonomi Kekeluargaan

Di Indonesia, kita sering mendengar tentang asas kekeluargaan yang seharusnya menjadi dasar perekonomian kita. 

Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai ini sering kali terpinggirkan oleh orientasi bisnis yang hanya berfokus pada keuntungan. 

Dalam konteks pengangguran pemuda, jelas bahwa semangat kekeluargaan ini harus dihidupkan kembali. 

Sistem yang hanya mengejar efisiensi dan keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja akan menciptakan lebih banyak masalah sosial, termasuk tingginya angka pengangguran.

Kesimpulan

Ekonomisasi mungkin tampak sebagai solusi jangka pendek bagi perusahaan, tetapi dampaknya pada generasi muda sangat signifikan. 

Dalam jangka panjang, upaya untuk menekan upah tenaga kerja tidak hanya akan memperburuk pengangguran, tetapi juga merusak struktur sosial kita. 

Reformasi kebijakan upah minimum dan investasi dalam pelatihan keterampilan adalah dua langkah konkret yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini. 

Namun, lebih dari itu, kita perlu mengingat bahwa perekonomian yang sehat bukan hanya tentang keuntungan, tetapi juga tentang kesejahteraan masyarakat luas.

Referensi:

  • Tirto.id. (2023, November 7). Di balik tren pengangguran lima tahun terakhir.
  • GoodStats. (2024, Oktober 10). Pengangguran di Jakarta sentuh 355 ribu orang, mayoritas usia muda.
  • Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. (2023, September 29). Profil pengangguran Provinsi DKI Jakarta 2022.
  • Tirto.id. (2023, November 7). Gen Z penyumbang angka pengangguran tinggi, pemerintah bisa apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun