Ketika berbicara tentang politik Indonesia, Pilkada atau Pemilu selalu menarik perhatian banyak pihak. Salah satu aspek menarik yang sering diperbincangkan adalah nomor urut kandidat.Â
Dalam konteks politik Indonesia, nomor urut bukan sekadar penanda administratif; ia sering kali dibalut takhayul dan dipercaya membawa keberuntungan atau bahkan kemalangan.Â
Fenomena ini seolah mengaburkan batas antara rasionalitas dan keyakinan mistis di tengah hiruk-pikuk demokrasi.Â
Tapi, benarkah nomor urut bisa memengaruhi hasil Pilkada? Atau apakah ini hanya mitos belaka yang terbawa oleh budaya dan tradisi takhayul kita? Mari kita telusuri lebih dalam.
Sejarah dan Budaya Takhayul di Indonesia
Takhayul terkait angka bukanlah hal baru, dan Indonesia sebagai negara dengan keragaman budaya yang kaya, memiliki banyak kepercayaan terkait angka. Satu angka yang sering diasosiasikan dengan nasib buruk di Indonesia adalah angka 13.Â
Ketakutan terhadap angka 13, atau yang dikenal sebagai paraskevidekatriaphobia, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Barat. Angka 13 sering kali dihindari di beberapa negara, termasuk di Amerika Serikat.Â
Di negara tersebut, banyak bangunan bertingkat yang sengaja menghindari penggunaan lantai 13 dalam sistem penomorannya. Namun, di Indonesia, pengaruh budaya Barat ini juga sedikit banyak mulai menyusup ke masyarakat kita.
Selain angka 13, ada juga angka 4 yang sering dianggap sial, terutama di masyarakat Tionghoa-Indonesia. Tetrafobia, atau ketakutan terhadap angka 4, berakar dari kepercayaan di Asia Timur, di mana angka ini dihindari karena dalam bahasa Mandarin, kata "empat" terdengar mirip dengan kata "kematian."Â
Pengaruh budaya Tionghoa ini cukup kuat di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa, yang masih memegang teguh tradisi dan takhayul dari leluhur mereka. Di banyak tempat, kita masih bisa menemukan gedung atau rumah sakit yang tidak memiliki kamar bernomor 4.
Dari segi sejarah, takhayul terhadap angka tidak hanya terbatas pada politik, melainkan juga hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, kucing hitam, sering kali dianggap sebagai pertanda mistis, bahkan ada mitos bahwa jika kucing hitam melangkahi mayat, mayat tersebut bisa bangkit kembali. Meski tidak ada bukti ilmiah yang mendukung hal ini, kepercayaan semacam ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat, mencerminkan bagaimana budaya takhayul tetap hidup dalam keseharian kita.