Saya punya kebiasaan aneh. Saya suka menyimpan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak berguna. Entah itu struk belanja minimarket dari beberapa bulan lalu, brosur promosi rumah subsidi yang sudah kadaluarsa, atau bahkan bungkus permen bekas.Â
Tapi ternyata, kebiasaan ini tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di dunia digital pun, saya melihat kita punya kecenderungan yang sama.
Gmail yang penuh dan tidak bisa menerima pesan baru ini mengingatkan saya pada fenomena yang disebut para ahli sebagai "digital hoarding" atau penimbunan digital.
Ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga mencerminkan perilaku psikologis yang menarik untuk dibahas.
Google memberikan kita 15 GB ruang penyimpanan gratis. Itu setara dengan ribuan email atau ratusan foto berkualitas tinggi.
Tapi kenapa masih bisa penuh? Jawabannya ternyata sederhana: kita terlalu takut kehilangan.
Para ahli menyebut ini sebagai "attachment and anxiety" atau keterikatan dan kecemasan.
Menurut Sillence dkk. (2023), kita sering merasa cemas jika harus menghapus email, khawatir akan kehilangan informasi penting atau kenangan berharga. Padahal, sebenarnya berapa banyak dari email-email itu yang benar-benar penting dan kita baca ulang?
Fenomena ini mirip dengan hoarding disorder (gangguan penimbunan). Dikutip dari Alodokter, hoarding disorder adalah gangguan psikologi di mana seseorang sangat sulit membuang atau berpisah dengan barang-barang. Seringkali mengumpulkan benda-benda yang sebenarnya tidak diperlukan karena merasa barang terseut masih bernilai atau akan berguna nanti.
Renschler dan Freeman (2022) menjelaskan bahwa kesulitan membuang file-file digital ini mirip dengan orang yang sulit membuang barang fisik di rumahnya. Bedanya, kalau di rumah bisa terlihat berantakan, di Gmail kita tidak sadar sampai tiba-tiba muncul peringatan "penyimpanan penuh".
Tapi mengapa seseorang dapat menjadi digital hoarder? Salah satu penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang makin memudahkan penggunanya.