Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Krisis Tersembunyi, Potret Buram Sistem Pendidikan Dokter Spesialis Indonesia

30 Agustus 2024   19:15 Diperbarui: 30 Agustus 2024   19:19 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) 

Berita tentang wafatnya dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro, telah membuka mata kita semua. 

Bukan hanya tentang beban kerja yang mencapai 84 jam per minggu tanpa kompensasi memadai, tapi juga tentang sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia yang perlu ditinjau ulang. 

Sebagai orang awam yang bekerja di sektor pemerintahan, saya merasa perlu mengangkat isu ini ke permukaan. 

Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana: Mengapa kita kekurangan dokter spesialis? 

Jawabannya ternyata tidak sesederhana pertanyaannya. Menurut penelitian Sari dan Widodo (2023), kekurangan dokter spesialis di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, berdampak signifikan pada peningkatan waktu tunggu pasien dan penurunan kualitas pelayanan. Bayangkan, Anda sakit parah dan harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk bertemu dokter spesialis. Ironis bukan?

Tapi tunggu dulu, masalahnya tidak berhenti di situ. 

Nugroho dan Pramono (2022) menemukan bahwa 78% dokter muda menganggap biaya pendidikan sebagai hambatan utama untuk melanjutkan ke program spesialis. Bahkan, 45% menyatakan kemungkinan tidak akan melanjutkan pendidikan spesialis karena alasan finansial. Jadi, jika Anda berpikir menjadi dokter spesialis itu mudah dan menguntungkan, mungkin Anda perlu berpikir dua kali. 

Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan dokter spesialis kita dibandingkan dengan negara tetangga? 

Wijaya dan Tan (2021) membandingkan sistem di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Hasilnya? Indonesia memiliki beban kerja tertinggi dengan kompensasi terendah. Sementara Singapura memiliki sistem yang lebih seimbang. Mungkin kita perlu belajar dari tetangga, bukan? 

Tapi jangan salah, masalah ini bukan hanya tentang dokter dan rumah sakit. 

Ini tentang kita semua. Pratama dan Suryawati (2024) menemukan korelasi negatif yang signifikan antara ketersediaan dokter spesialis dan indikator kesehatan negatif, seperti angka kematian ibu dan bayi. Artinya, semakin sedikit dokter spesialis, semakin buruk kondisi kesehatan masyarakat. Dan ini terjadi terutama di luar Pulau Jawa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun