Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Doorstop ke Sandiwara, Metamorfosis Strategi Komunikasi Presiden

30 Agustus 2024   18:10 Diperbarui: 30 Agustus 2024   18:10 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo memberikan tanggapan tentang pembatalan revisi UU Pilkada. (Dok. YouTube Sekretariat Presiden) 

Prasetyo dan Karlinah (2022) mengungkapkan bahwa strategi "autentisitas yang dipentaskan" memang bisa meningkatkan kredibilitas pemimpin di mata publik, tapi juga berisiko mengurangi transparansi yang sebenarnya. Ini menjadi dilema tersendiri dalam era digital sekarang, di mana publik menuntut keterbukaan tapi juga mudah terpengaruh oleh narasi yang dikemas secara menarik. 

Fenomena "doorstop pura-pura" ini juga mencerminkan perubahan strategi politik di era digital. 

Idris dan Hafiar (2022) menunjukkan bagaimana platform digital digunakan untuk membentuk narasi politik dan merespons isu-isu sensitif. Ini menjelaskan mengapa tim presiden mungkin merasa perlu untuk "berpura-pura" wawancara demi mengontrol narasi yang beredar.

Tapi pertanyaannya: Apakah strategi ini efektif dalam jangka panjang? 

Sinpeng dan Tapsell (2021) menekankan pentingnya adaptasi cepat terhadap isu-isu sensitif dan penggunaan platform digital untuk kontrol narasi. Namun, mereka juga memperingatkan bahwa strategi ini harus diimbangi dengan upaya mempertahankan kredibilitas di tengah meningkatnya skeptisisme publik. 

Sebagai warga negara biasa, saya merasa fenomena ini perlu kita cermati bersama. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami kompleksitas komunikasi politik di era sekarang. Kita perlu lebih kritis dalam menyikapi informasi yang kita terima, tapi juga tidak boleh kehilangan kepercayaan pada institusi demokrasi kita. 

Mungkin ini saatnya kita, sebagai masyarakat, juga beradaptasi. Kita perlu meningkatkan literasi media dan kemampuan berpikir kritis. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi berbagai bentuk komunikasi politik, termasuk "doorstop pura-pura" ini. 

Pada akhirnya, komunikasi politik yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari kedua belah pihak: pemerintah dan masyarakat. 

Pemerintah perlu lebih terbuka dan autentik dalam berkomunikasi, sementara masyarakat perlu lebih kritis dan bijak dalam menyikapi informasi. 

Hanya dengan begitu, kita bisa membangun demokrasi yang lebih sehat dan bermartabat.


Referensi:
Ahmad, N. , & Ambardi, K. (2020). Political Communication in the Era of Post-Truth: A Study of Indonesian Presidential Election 2019. Jurnal Komunikasi:  Malaysian Journal of Communication. https:  //ejournal.  ukm.  my/mjc/article/view/41545

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun