politik menjelang Pilkada DKI Jakarta 2024 kembali memanas. Kali ini, perhatian publik tertuju pada pertemuan yang cukup mengejutkan antara Anies Baswedan dan petinggi PDIP Jakarta.Â
GeliatSebuah manuver politik yang tak disangka-sangka, mengingat sejarah hubungan yang tidak selalu harmonis antara kedua pihak ini.
Pertemuan ini terjadi di tengah situasi politik yang dinamis pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan diturunkannya ambang batas pencalonan menjadi 7,5%, lanskap politik Jakarta berubah drastis[1].
PDIP, yang sebelumnya terpinggirkan dari koalisi besar, kini memiliki peluang emas untuk mengusung calon sendiri. Ini bukan sekadar perubahan aturan main, tapi juga membuka peluang bagi rekonfigurasi aliansi politik yang menarik untuk disimak.
Anies Baswedan, sosok yang baru saja bertarung di kancah Pilpres 2024, masih menyimpan daya magnet politik yang kuat. Survei terbaru menunjukkan elektabilitasnya mencapai 29,8%, jauh di atas nama-nama lain seperti Basuki Tjahaja Purnama (20%) dan Ridwan Kamil (8,5%)[1].
Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cerminan kepercayaan publik yang masih tinggi terhadap Anies, sekaligus modal politik yang sangat berharga.
Namun, politik Indonesia selalu penuh kejutan. Pertemuan Anies dengan PDIP Jakarta ini bisa jadi merupakan awal dari sebuah aliansi tak terduga, atau bisa juga hanya sebatas "silaturahmi" politik biasa.
Yang menarik, Anies dengan cerdik membingkai pertemuan ini dalam konteks yang lebih luas. Ia menyebut bahwa mereka membicarakan pemikiran kebangsaan, Bung Karno, dan keindonesiaan [1].
Ini bukan sekadar basa-basi, tapi strategi brilian untuk menunjukkan keselarasan visi dengan PDIP, partai yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Bung Karno.
Di sisi lain, respons dari PDIP Jakarta juga patut dicermati. Ketika ditanya tentang kemungkinan mengusung Anies, Ketua DPD PDIP DKI Jakarta, Ady Wijaya, memberikan jawaban diplomatis "Insya Allah" [1].
Ini bisa diartikan sebagai sinyal positif, tapi juga bisa jadi taktik untuk menjaga opsi tetap terbuka.