Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komika dan Kritik Politik: Mengubah Humor Menjadi Senjata Sosial

23 Agustus 2024   09:00 Diperbarui: 23 Agustus 2024   09:05 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komika Arie Kriting dan Bintang Emon saat berorasi pada demo tolak revisi UU Pilkada 2024 (KOMPAS.com/RIZKY SYAHRIAL)

Ketika para komika berdiri di depan Gedung DPR, dalam aksi menolak Revisi UU Pilkada, mereka menyuarakan kekesalan mereka terhadap berbagai keputusan politik yang dianggap tidak masuk akal. 

Tidak hanya sekedar menghibur, mereka juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi wacana publik. Orasi mereka, yang diselingi dengan nyanyian "Agak Laen", menjadi simbol dari bentuk perlawanan baru di tengah masyarakat Indonesia yang semakin kritis terhadap pemerintah. 

Tapi, seberapa besar sebenarnya pengaruh komika dalam membentuk opini publik di Indonesia? 

Dalam beberapa tahun terakhir, komika di Indonesia telah bertransformasi dari sekadar penghibur menjadi aktor politik yang memiliki pengaruh signifikan. Mereka menggunakan sosial media untuk menyebarkan pesan-pesan kritik yang cerdas dan penuh humor. Hal yang sering kali lebih efektif dalam menarik perhatian publik dibandingkan dengan pidato politik yang formal. 

Penelitian yang dilakukan oleh Anders C. Johansson (2016) dari Stockholm School of Economics menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi sarana yang ampuh dalam proses politik di Indonesia. Media sosial memungkinkan para komika untuk menjangkau audiens yang lebih luas, membentuk opini publik, dan bahkan mempengaruhi kebijakan pemerintah (S-WoPEc). 

Ketika komika seperti Bintang Emon atau Arie Kriting mengangkat isu-isu sosial-politik dalam stand-up, mereka tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. 

Penelitian ini mendukung argumen bahwa komika mampu mengisi celah dalam komunikasi politik yang sering kali terasa jauh dari realitas masyarakat. 

Melalui humor, mereka dapat menyampaikan kritik tajam tanpa menimbulkan resistensi yang biasanya muncul dalam diskusi politik konvensional. 

Namun, peran komika tidak terbatas pada penggunaan humor semata. Mereka juga menggunakan bahasa politik yang sederhana dan langsung, yang dapat dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat. 

Alnizar dalam artikelnya di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2020) menyoroti bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan bahasa politik dalam komunikasinya selama pandemi Covid-19. Bahasa ini, meskipun efektif dalam beberapa konteks, sering kali terkesan birokratis dan sulit dipahami oleh masyarakat umum (Jurnal UGM). 

Di sisi lain, komika menggunakan bahasa yang lebih "membumi", yang langsung menyentuh persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh rakyat. 

Sebagai contoh, orasi yang disampaikan oleh komika di depan Gedung DPR tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan politik, tetapi juga mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. 

Bahkan Bintang Emon dengan cerdik menyebutkan bahwa, "Kalo belum umur 30, jangan nyalon dulu. Jangan Dek ya!", menunjukkan kemampuan komunikasi dengan audiens yang lebih luas, termasuk para Gen Z pengguna TikTok, yang mungkin tidak tertarik dengan politik, tetapi tetap bisa nyambung dengan isu ini karena istilah yang dipakai. 

Komika juga memiliki kemampuan unik untuk menciptakan narasi yang kuat dan menyentuh. Ketika mereka menyanyikan lagu "Agak Laen", mereka tidak hanya menyuarakan protes, tetapi juga menyatukan massa dalam solidaritas. 

Soundtrack film dengan judul yang sama ini, awalnya mungkin hanya dianggap sebagai hiburan, tapi telah berkembang menjadi semacam lagu penyemangat yang mengiringi setiap langkah demonstrasi. 

Ini menunjukkan bagaimana budaya populer dapat dengan cepat berubah menjadi alat perlawanan yang kuat, yang bisa merangkul berbagai lapisan masyarakat. 

Namun, meskipun komika memiliki pengaruh yang signifikan, mereka tetap harus berhati-hati dalam menyampaikan pesan-pesan mereka. 

Di satu sisi, humor dapat membuka pintu diskusi yang sebelumnya tertutup, tetapi di sisi lain, humor juga dapat disalahartikan atau dianggap remeh oleh pihak-pihak tertentu. 

Oleh karena itu, penting bagi komika untuk tetap konsisten dan jelas dalam pesan-pesan mereka, agar tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap perubahan sosial-politik di Indonesia. 

Peran komika dalam wacana politik Indonesia bukanlah hal yang baru, tetapi semakin kuat seiring dengan perkembangan media sosial dan digital. 

Mereka mampu memanfaatkan platform ini untuk mengajak masyarakat berpikir kritis, sekaligus menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah dengan cara yang tidak menyinggung secara langsung. Dalam konteks ini, komika tidak hanya menjadi pelaku seni, tetapi juga menjadi agen perubahan yang dapat mempengaruhi jalannya politik di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun