Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komika dan Kritik Politik: Mengubah Humor Menjadi Senjata Sosial

23 Agustus 2024   09:00 Diperbarui: 23 Agustus 2024   09:05 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika para komika berdiri di depan Gedung DPR, dalam aksi menolak Revisi UU Pilkada, mereka menyuarakan kekesalan mereka terhadap berbagai keputusan politik yang dianggap tidak masuk akal. 

Tidak hanya sekedar menghibur, mereka juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi wacana publik. Orasi mereka, yang diselingi dengan nyanyian "Agak Laen", menjadi simbol dari bentuk perlawanan baru di tengah masyarakat Indonesia yang semakin kritis terhadap pemerintah. 

Tapi, seberapa besar sebenarnya pengaruh komika dalam membentuk opini publik di Indonesia? 

Dalam beberapa tahun terakhir, komika di Indonesia telah bertransformasi dari sekadar penghibur menjadi aktor politik yang memiliki pengaruh signifikan. Mereka menggunakan sosial media untuk menyebarkan pesan-pesan kritik yang cerdas dan penuh humor. Hal yang sering kali lebih efektif dalam menarik perhatian publik dibandingkan dengan pidato politik yang formal. 

Penelitian yang dilakukan oleh Anders C. Johansson (2016) dari Stockholm School of Economics menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi sarana yang ampuh dalam proses politik di Indonesia. Media sosial memungkinkan para komika untuk menjangkau audiens yang lebih luas, membentuk opini publik, dan bahkan mempengaruhi kebijakan pemerintah (S-WoPEc). 

Ketika komika seperti Bintang Emon atau Arie Kriting mengangkat isu-isu sosial-politik dalam stand-up, mereka tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. 

Penelitian ini mendukung argumen bahwa komika mampu mengisi celah dalam komunikasi politik yang sering kali terasa jauh dari realitas masyarakat. 

Melalui humor, mereka dapat menyampaikan kritik tajam tanpa menimbulkan resistensi yang biasanya muncul dalam diskusi politik konvensional. 

Namun, peran komika tidak terbatas pada penggunaan humor semata. Mereka juga menggunakan bahasa politik yang sederhana dan langsung, yang dapat dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat. 

Alnizar dalam artikelnya di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2020) menyoroti bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan bahasa politik dalam komunikasinya selama pandemi Covid-19. Bahasa ini, meskipun efektif dalam beberapa konteks, sering kali terkesan birokratis dan sulit dipahami oleh masyarakat umum (Jurnal UGM). 

Di sisi lain, komika menggunakan bahasa yang lebih "membumi", yang langsung menyentuh persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun