Namun, di balik keseruan kegiatan ekstrakurikuler ini, ada sisi lain yang jarang dibicarakan.
Bagaimana dengan siswa yang tidak memiliki akses atau kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan ini? Apakah hal ini menciptakan kesenjangan sosial yang tidak terlihat di antara para siswa? Dan bagaimana dengan beban tambahan bagi guru pembimbing yang harus meluangkan waktu ekstra tanpa kompensasi yang memadai?
Terlepas dari pro dan kontra, tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan ekstrakurikuler era 80-90an telah membentuk generasi yang memiliki soft skill beragam.
Kemampuan berorganisasi, public speaking, hingga kreativitas yang diasah melalui kegiatan-kegiatan ini terbukti menjadi bekal berharga di dunia kerja. Mungkinkah ini menjadi salah satu faktor mengapa generasi 80-90an dianggap lebih tangguh dalam menghadapi tantangan di era digital saat ini?
Lantas, bagaimana dengan kegiatan ekstrakurikuler di era sekarang? Apakah masih memiliki esensi yang sama atau telah tergantikan oleh gadget dan media sosial?
Mungkin sudah saatnya kita merefleksikan kembali pentingnya kegiatan-kegiatan ini dan bagaimana kita bisa mengadaptasinya dengan kebutuhan generasi saat ini.
Apakah kita telah memberikan kesempatan yang sama bagi generasi penerus untuk merasakan pengalaman berharga seperti yang kita dapatkan dulu? Atau justru kita terlalu sibuk mengejar prestasi akademik dan melupakan pentingnya pengembangan karakter melalui kegiatan di luar kelas?
Semoga nostalgia singkat ini bisa menjadi pengingat akan pentingnya keseimbangan dalam pendidikan, di mana prestasi akademik dan pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler berjalan beriringan, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkarakter kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H