Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dari Warkop DKI ke Tiktok, Perjalanan Humor Orang Indonesia yang Bikin Geleng Kepala

21 Agustus 2024   07:00 Diperbarui: 21 Agustus 2024   07:02 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kasino, Dono dan Indro tergabung dalam Warkop KI (Popbela)

Saya masih tertawa saat menonton video stand up komedi Raditya Dika, sementara teman sekantor yang lebih senior hanya mengernyitkan dahi kebingungan. Sebaliknya, saya hanya tersenyum sopan ketika rekan kerja senior saya ini terpingkal-pingkal menonton ulang film komedi era 90-an.

Sebagai milenial yang kini menginjak usia 30-an akhir, saya merasa jadi penengah antara dua era generasi yang punya selera humor cukup kontras.

Baru-baru ini, saya menonton video YouTube tentang teknik menulis konten komedi untuk media sosial. Ekspektasi saya adalah mendapatkan wawasan tentang storytelling ala stand-up comedy. Namun ternyata, pembicara dalam video tersebut justru menekankan pentingnya menciptakan one-liner yang catchy dan visual gag yang dapat membuat orang tertawa dalam hitungan detik.

Saya seketika teringat masa-masa menonton film Warkop DKI di televisi saat masih bocil. Dulu kita bisa dengan sabar menunggu punchline selama 1 jam. Sekarang? 15 detik saja sudah dianggap terlalu panjang.

Perubahan ini bukan hanya soal durasi. Pusat Film Indonesia mencatat, era 90-an film komedi macam Warkop DKI menyumbang 25 judul (28,75%) dari semua film nasional. Bandingkan dengan sekarang. Survei APJII 2022 bilang 76,31% netizen Indonesia paling doyan nonton video online buat hiburan. Pergeserannya kerasa banget, kan?

Tapi jangan salah, perubahan ini bukan berarti selera humor orang Indonesia makin dangkal. Saya lihat malah sebaliknya, humor di jaman sekarang jadi lebih berwarna dan bisa menyebar lebih luas. Penelitian dari UI menyimpulkan, meme-meme yang beredar di sosial media bisa jadi cerminan apa yang sebenernya terjadi dalam benak masyarakat. Jadi, pas kamu liat meme politik yang lagi viral, sebenernya itu bisa jadi kritik sosial yang dikemas dalam bentuk yang gampang dicerna.

Di sinilah letak kontrasnya. Di satu sisi, kita memiliki akses ke berbagai jenis humor dari seluruh dunia. Namun di sisi lain, selera humor kita jadi semakin mengerucut. Ada yang masih doyan lawakan lenong, ada yang suka stand-up comedy, sementara yang lebih muda gampang kena dengan video TikTok yang lucu. Bukan cuma soal selera, tapi juga soal bagaimana orang-orang sekarang memahami informasi yang tersirat dan mengomunikasikannya.

Perkembangan teknologi komunikasi di negara kita juga berperan besar mendorong perubahan ini. Jika kita lihat timelinenya: 

  • 1990-an: Era TV analog, film komedi masih menjadi primadona 
  • Awal 2000-an: TV kabel masuk, mulai ada variety show komedi
  • Pertengahan 2000-an: Internet broadband, YouTube mulai populer
  • 2010-an: Smartphone dan media sosial, meme dan video pendek mulai viral
  • Sekarang: Zaman 5G, TikTok cs menguasai jagat hiburan dengan konten singkat


Tiap kali ada kemajuan teknologi, cara kita menikmati dan bikin konten lucu juga ikut berubah. Dulu bikin konten komedi butuh duit segepok, sekarang? Cukup modal hape sama kuota (dan kemampuan menulis komedi), siapa aja bisa jadi pelawak dadakan di dunia maya

Riset pun menegaskan fenomena ini. Nielsen Consumer Media View bikin survei di 11 kota Indonesia. Hasilnya? 

Beda generasi, beda selera hiburan. Anak Gen Z doyan banget sama konten pendek di TikTok atau Reels IG. Milenial? Masih betah nonton durasi yang agak panjang di YouTube atau Netflix. Boomer malah masih setia sama TV biasa. Gak heran ya, tiap generasi punya dunianya sendiri.

Dr. Ade Armando (ya Ade Armando yang itu), seorang ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, pernah mengatakan bahwa perubahan pola komunikasi di era digital ini berdampak besar pada cara kita memproduksi dan mengonsumsi humor. "Dulu humor itu proses sosial yang melibatkan interaksi langsung. Sekarang, humor menjadi lebih personal dan instan," katanya.

Namun di balik semua perubahan ini, ada satu hal yang tidak berubah: fungsi humor itu sendiri. 

Entah dalam bentuk film Warkop DKI atau video TikTok 15 detik, humor tetap menjadi saluran kita untuk mengkritik dan kabur sejenak dari kenyataan hidup yang kadang pahit, melepas stres, dan semoga kita gunakan untuk menertawakan diri sendiri.

Jadi, apa kesimpulannya? Apakah humor Indonesia semakin baik atau justru menurun kualitasnya? 

Jawabannya: tidak sesimpel itu. Yang jelas, humor relatif berubah seiring dengan perubahan zaman. Saya tidak bisa bilang mana yang lebih keren, tetapi yang pasti, setiap era memiliki ciri khasnya.

10 tahun lagi, anak cucu kita mungkin akan bingung melihat kita tertawa menonton video TikTok. Namun begitulah kita sebagai penikmat humor. Selera kita mungkin bisa berubah, tetapi fungsinya tetap sama: membuat kita tertawa, berpikir, dan terkadang, merasa lebih dekat satu sama lain.

Jadi, lain kali Anda menonton konten komedi, cobalah sekaligus merenungkannya. Apa yang membuat Anda tertawa? Kok bisa begitu? Siapa tahu, dengan memahami evolusi humor ini, kita bisa lebih memahami diri sendiri dan masyarakat kita.

Dan jika Anda masih bingung mengapa rekan kerja senior Anda tertawa menonton film komedi lawas, anggap saja itu misteri yang tidak perlu dipecahkan. Yang penting kan, kita masih bisa tertawa bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun