Bagi generasi yang tumbuh di era 80-an, ingatan tentang pendidikan di masa itu mungkin membangkitkan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ada rasa bangga akan kedisiplinan dan etika yang ditanamkan.
Di sisi lain, ada pula trauma akan metode pendisiplinan yang kadang terasa berlebihan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa era tersebut telah membentuk karakter generasi yang kini menjadi tulang punggung bangsa.Pendidikan di tahun 80-an memang memiliki ciri khas tersendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Doni Koesoema A. dalam penelitiannya tahun 2018, era ini ditandai dengan penekanan yang sangat kuat pada kedisiplinan dan etika. Praktik-praktik seperti upacara bendera wajib, seragam yang ketat, dan hukuman fisik menjadi pemandangan umum di sekolah-sekolah Indonesia. Nilai-nilai seperti hormat pada orang tua dan guru sangat ditekankan, baik di sekolah maupun di rumah.
Suyanto, dalam penelitiannya tahun 2019, menggambarkan bahwa pada masa itu, guru memiliki otoritas penuh di kelas. Hukuman fisik, yang kini dianggap kontroversial, saat itu dipandang sebagai metode pendisiplinan yang wajar. Murid-murid diharapkan untuk patuh tanpa banyak bertanya, sebuah pendekatan yang saat ini mungkin dianggap terlalu otoriter.
Namun, penting untuk memahami konteks zaman tersebut. Indonesia di era 80-an adalah negara yang sedang membangun, dengan fokus pada stabilitas dan pembangunan ekonomi. Pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Arif Rohman dalam penelitiannya tahun 2017, menjadi alat untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kepatuhan pada otoritas. Kurikulum bersifat sentralistik, mencerminkan visi pemerintah Orde Baru untuk menciptakan generasi yang disiplin dan seragam.
Di lingkungan keluarga, pola asuh yang diterapkan pun tak jauh berbeda. Sri Lestari, dalam studinya tahun 2020, menemukan bahwa keluarga Indonesia di era 80-an umumnya menerapkan pola asuh yang otoriter. Anak-anak diharapkan untuk patuh tanpa banyak pertanyaan, dan hukuman fisik dianggap sebagai metode disiplin yang wajar.
Elly Malihah, dalam penelitiannya tahun 2021, membandingkan pola asuh era 80-an dengan era 2010-an. Temuannya menunjukkan pergeseran signifikan dari pendekatan otoriter ke pendekatan yang lebih demokratis dan berfokus pada pengembangan karakter anak secara holistik.
Melihat ke belakang, kita mungkin bisa mengkritik beberapa aspek pendidikan era 80-an. Namun, kita juga harus mengakui bahwa era tersebut telah melahirkan generasi yang memiliki disiplin tinggi dan etika yang kuat. Banyak pemimpin dan profesional sukses saat ini adalah produk pendidikan era tersebut.
Tentu saja, zaman telah berubah. Pendekatan pendidikan yang terlalu otoriter kini dianggap kontraproduktif. Hukuman fisik telah dilarang di banyak sekolah. Namun, apakah kita telah kehilangan sesuatu dalam proses perubahan ini?
Mungkin kita perlu merefleksikan kembali nilai-nilai positif dari era tersebut. Bagaimana kita bisa menumbuhkan disiplin dan etika tanpa harus kembali ke metode-metode yang kini dianggap ketinggalan zaman? Bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan rasa hormat pada otoritas?
Pendidikan di era 80-an mungkin terkesan keras, namun ia telah membentuk generasi yang tangguh. Tantangan kita saat ini adalah bagaimana mengambil pelajaran dari masa lalu, sambil terus beradaptasi dengan tuntutan zaman. Mungkin, dengan melihat kembali ke belakang, kita bisa menemukan kunci untuk membangun sistem pendidikan yang lebih baik di masa depan.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kata-kata Ki Hajar Dewantara, "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani". Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Mungkin inilah esensi pendidikan yang perlu kita pertahankan, terlepas dari perubahan zaman.