Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Krusial Tokoh Agama dalam Mengatasi KDRT di Indonesia

15 Agustus 2024   18:24 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia masih bergulat dengan hantu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengintai di balik pintu-pintu rumah yang tertutup. Berita yang sedang hangat, tentang kekerasan yang dialami selebgram Cut Intan Nabila mengonfirmasi hal ini. 

Ironis memang, di negeri yang mengaku religius ini, angka KDRT relatif merangkak naik, seolah mengejek nilai-nilai luhur agama yang seharusnya menjadi benteng pertahanan keluarga.

Data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menunjukkan bahwa hingga 1 Januari 2024, tercatat 13.596 perempuan menjadi korban kekerasan, dengan 58,4% di antaranya terjadi dalam lingkup rumah tangga. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi jeritan sunyi ribuan perempuan yang terjebak dalam lingkaran kekerasan yang seolah tak berujung.

Dalam konteks inilah, peran lembaga keagamaan dan tokoh agama menjadi sangat krusial. Mereka bukan hanya penjaga moral, tapi juga garda terdepan dalam upaya pencegahan dan penanganan KDRT. Namun, pertanyaannya, sejauh mana efektivitas peran mereka? Apakah khotbah-khotbah di mimbar mampu menembus tembok-tembok rumah dan mengubah pola pikir masyarakat?

Penelitian Muhammad Juni Beddu (2023) di Kota Batam memberikan secercah harapan. Penyuluh agama terbukti memiliki peran signifikan dalam mengedukasi masyarakat tentang hak-hak individu, kesehatan mental, dan pentingnya hubungan yang sehat dalam rumah tangga. Mereka tidak hanya berceramah, tapi juga turun langsung memberikan dukungan emosional dan spiritual kepada korban. Ini menunjukkan bahwa tokoh agama, ketika diberdayakan dengan tepat, bisa menjadi agen perubahan yang efektif.

Namun, jangan terlalu cepat berbangga. Studi Tony Tampake di Kota Kudus mengingatkan kita bahwa peran lembaga agama dalam menangani KDRT masih perlu dioptimalkan. Banyak tokoh agama yang masih terjebak dalam paradigma lama, menganggap KDRT sebagai "urusan rumah tangga" yang tabu untuk diintervensi. Padahal, justru di sinilah peran mereka sangat dibutuhkan: menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai agama dan realitas sosial yang kompleks.

Kementerian Agama sendiri telah menyadari urgensi ini. Inisiatif seperti penandatanganan Deklarasi dan Komitmen Ulama dan Tokoh Agama dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Bengkulu pada 2018 adalah langkah positif. Namun, deklarasi saja tidak cukup. Diperlukan aksi nyata dan konsisten untuk mengubah mindset masyarakat yang masih menganggap KDRT sebagai hal yang wajar atau bahkan dibenarkan oleh agama.

Di sinilah letak tantangan terbesarnya. Bagaimana menafsirkan ulang ajaran-ajaran agama yang sering disalahartikan untuk membenarkan kekerasan? Bagaimana membongkar konstruksi budaya patriarki yang mengakar kuat, yang sering kali berlindung di balik dalil-dalil agama? Ini bukan tugas mudah, tapi justru di sinilah peran vital tokoh agama sebagai agen perubahan sosial.

Tokoh agama perlu melakukan pemaknaan ulang teks-teks suci yang sering disalahgunakan untuk membenarkan KDRT. Mereka harus berani mendobrak tabu dan membahas isu-isu sensitif seperti kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam khotbah-khotbah mereka. Lebih dari itu, mereka perlu menjadi teladan hidup, menunjukkan bahwa keluarga yang harmonis dibangun atas dasar cinta dan saling menghormati, bukan dominasi dan kekerasan.

Namun, peran tokoh agama tidak boleh berhenti di mimbar. Mereka perlu terlibat aktif dalam program-program pencegahan dan penanganan KDRT yang diinisiasi pemerintah. Kolaborasi antara tokoh agama, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil adalah kunci untuk mengatasi KDRT secara komprehensif. Tokoh agama bisa menjadi jembatan antara korban dan sistem hukum, membantu korban memahami hak-hak mereka dan mendorong mereka untuk berani melaporkan kekerasan yang dialami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun