Dalam budaya Indonesia yang kental dengan nilai-nilai kerukunan dan harmoni, konsep "memaafkan tapi tidak melupakan" menjadi fenomena menarik yang patut kita telaah lebih dalam. Saya melihat adanya pola yang menarik terkait perbedaan gender dalam hal ini.
Sebuah studi yang dilakukan terhadap pasangan yang mengalami perselingkuhan dalam pernikahan menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih pemaaf dibandingkan laki-laki[2]. Namun, apakah ini berarti perempuan lebih mudah melupakan? Tentu saja tidak sesederhana itu.
Budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia seringkali menempatkan perempuan dalam posisi yang diharapkan untuk lebih mengalah dan memaafkan.
Dalam hasil penelitian oleh Safitri & Amirudin (2021) disebutkan bahwa, budaya lebih toleran terhadap laki-laki yang tidak setia dibandingkan perempuan. Selain itu, perempuan memiliki ketergantungan moral dan material terhadap pasangannya. Sehingga pertimbangan perempuan untuk memaafkan dan tetap bertahan adalah karena adanya dominasi dan relasi kuasa[9].
Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia sering terjebak dalam ekspektasi sosial dan budaya untuk memaafkan pasangan mereka, bahkan ketika menjadi korban ketidaksetiaan, karena adanya ketergantungan dan relasi kuasa yang tidak seimbang.
Namun, memaafkan tidak selalu berarti melupakan.
Dalam "Forgive and Forget: Differences between Decisional and Emotional Forgiveness" yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, Lichtenfeld. et. all (2015) menyatakan bahwa memaafkan dan melupakan adalah dua proses yang berbeda. Memaafkan melibatkan proses emosional dan motivasional yang kompleks, sementara melupakan lebih merupakan proses kognitif yang melibatkan memori[10].
Penelitian ini menunjukkan bahwa 'memaafkan secara emosional' dan 'memaafkan secara keputusan' memiliki efek yang berbeda terhadap proses melupakan. Memaafkan secara emosional cenderung memfasilitasi proses melupakan, sementara memaafkan secara keputusan tidak memiliki efek signifikan terhadap melupakan.
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih tinggi di Indonesia[11]. Dalam banyak kasus, perempuan memaafkan pelaku KDRT demi keutuhan keluarga, tapi tentu saja tidak melupakan trauma yang dialami. Ini menunjukkan bahwa konsep "forgive but not forget" seringkali menjadi mekanisme bertahan hidup bagi banyak perempuan Indonesia.
Di sisi lain, laki-laki Indonesia cenderung lebih sulit memaafkan, terutama jika menyangkut harga diri. Moh Soehadha, Sosiolog UIN Sunan Kalijaga, pernah menulis bahwa dalam budaya Jawa (yang banyak mempengaruhi budaya nasional), konsep "wirang" atau malu sangat penting bagi laki-laki. Ini mungkin menjelaskan mengapa laki-laki lebih sulit memaafkan, apalagi melupakan [12].
Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan ini tidak hanya terbatas pada gender, tapi juga melibatkan kompleksitas budaya, agama, dan pengalaman personal. Sebuah penelitian yang mengembangkan Skala Pemaafan Interpersonal Indonesia menunjukkan bahwa konteks sosial-budaya sangat mempengaruhi dinamika pemaafan di Indonesia[5].
Lantas, bagaimana kita menyikapi fenomena ini? Pertama, kita perlu menyadari bahwa memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda. Memaafkan bisa menjadi langkah positif untuk kesehatan mental, tapi melupakan tidak selalu diperlukan atau bahkan diinginkan.
Kedua, kita perlu mengakui adanya perbedaan gender dalam hal ini, tapi jangan sampai terjebak dalam stereotip. Setiap individu, terlepas dari gendernya, memiliki cara sendiri dalam memaafkan dan (tidak) melupakan.
Terakhir, sebagai masyarakat, kita perlu menciptakan ruang yang aman bagi semua gender untuk mengekspresikan perasaan mereka terkait pemaafan. Jangan biarkan ekspektasi sosial memaksa seseorang untuk memaafkan ketika mereka belum siap.
Memaafkan tapi tidak melupakan bukanlah tanda kepura-puraan atau dendam terselubung. Ia adalah mekanisme kompleks yang melibatkan emosi, kognisi, dan konteks sosial-budaya. Dalam masyarakat Indonesia yang beragam, kita perlu lebih peka terhadap nuansa ini.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak untuk merenungkan kutipan berikut,
"Maafkan, bukan karena mereka pantas diampuni, tapi karena kamu pantas mendapatkan kedamaian."Â
Mungkin inilah esensi dari "forgive but not forget" - memaafkan bukanlah tentang apakah orang lain pantas diampuni atau tidak, tetapi tentang bagaimana kita dapat mencapai kedamaian dan kebahagiaan dalam diri kita sendiri.
-
Referensi:
[1] Ghuzairoh, T. (2015). Perbedaan forgiveness ditinjau dari jenis kelamin pada budaya Jawa [Differences in forgiveness based on gender in Javanese culture] (Undergraduate thesis). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. http: //etheses. uin-malang. ac. id/902/12/10410030%20Ringkasan. pdf
[2] Ismoyo, P. J. (2020). Decolonizing gender identities in Indonesia: A study of Bissu 'The trans-religious leader' in Bugis people. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 10(3). https: //doi. org/10.17510/paradigma. v10i3.404
[3] Worthington, E. L., Jr., Davis, D. E., Hook, J. N., Van Tongeren, D. R., Gartner, A. L., Jennings, D. J., II, Greer, C. L., & Lin, Y. (2021). Gender differences in forgiveness and its affective correlates. Journal of Positive Psychology, 16(6), 749-761. https: //doi. org/10.1080/17439760. 2020. 1818813
[4] Angraini, R., & Cucuani, H. (2014). Hubungan kualitas persahabatan dan empati pada pemaafan remaja akhir [The relationship between friendship quality and empathy in late adolescent forgiveness]. An-Nafs: Jurnal Fakultas Psikologi, 8(2), 1-11. https: //journal. uir. ac. id/index.php/annafs/article/view/3281
[5] Utami, D. A. (2015). Kepercayaan interpersonal dengan pemaafan dalam hubungan persahabatan [Interpersonal trust and forgiveness in friendships]. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 3(1), 54-70. https: //journal. unesa. ac. id/index. php/JOFC/article/download/26946/10722
[6] Tian, L., Huebner, E. S., & Liu, J. (2022). Forgiveness and subjective well-being in school: Mediating roles of social support and resilience. Frontiers in Psychology, 13, Article 898715. https: //doi. org/10. 3389/fpsyg. 2022. 898715
[7] Nashori, F., Iskandar, T. Z., Setiono, K., & Siswadi, A. G. P. (2013). Pemaafan pada etnis Jawa ditinjau dari faktor demografi [Forgiveness in Javanese ethnicity viewed from demographic factors]. Jurnal Konseling Edukasi, 1(2), 234-258. https: //journal. iainkudus. ac. id/index. php/Konseling_Edukasi/article/download/234-258/pdf
[8] Miller, A. J., Worthington, E. L., Jr., & McDaniel, M. A. (2008). Gender and forgiveness: A meta-analytic review and research agenda. Journal of Social and Clinical Psychology, 27(8), 843-876. http: //people. vcu. edu/~mamcdani/Publications/Miller, %20Worthington%20%26%20McDaniel%20%282008%29. pdf
[9] Z. Safitri K, and A. Amirudin, "Keputusan Perempuan Memaafkan Ketidaksetiaan Pasangan," Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, vol. 4, no. 2, pp. 61-70, Jun. 2021. https: //doi. org/10. 14710/endogami. 4. 2. 61-70
[10] Lichtenfeld, S., Buechner, V. L., Maier, M. A., & Fernández-Capo, M. (2015). Forgive and Forget: Differences between Decisional and Emotional Forgiveness. PloS one, 10(5), e0125561. https: //doi. org/10. 1371/journal. pone. 0125561
[11] https: //komnasperempuan. go. id/download-file/1085
[12] https: //ejournal. uin-suka. ac. id/ushuluddin/Religi/article/download/1001-01/941/1935
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H