Lantas, bagaimana kita menyikapi fenomena ini? Pertama, kita perlu menyadari bahwa memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda. Memaafkan bisa menjadi langkah positif untuk kesehatan mental, tapi melupakan tidak selalu diperlukan atau bahkan diinginkan.
Kedua, kita perlu mengakui adanya perbedaan gender dalam hal ini, tapi jangan sampai terjebak dalam stereotip. Setiap individu, terlepas dari gendernya, memiliki cara sendiri dalam memaafkan dan (tidak) melupakan.
Terakhir, sebagai masyarakat, kita perlu menciptakan ruang yang aman bagi semua gender untuk mengekspresikan perasaan mereka terkait pemaafan. Jangan biarkan ekspektasi sosial memaksa seseorang untuk memaafkan ketika mereka belum siap.
Memaafkan tapi tidak melupakan bukanlah tanda kepura-puraan atau dendam terselubung. Ia adalah mekanisme kompleks yang melibatkan emosi, kognisi, dan konteks sosial-budaya. Dalam masyarakat Indonesia yang beragam, kita perlu lebih peka terhadap nuansa ini.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak untuk merenungkan kutipan berikut,
"Maafkan, bukan karena mereka pantas diampuni, tapi karena kamu pantas mendapatkan kedamaian."Â
Mungkin inilah esensi dari "forgive but not forget" - memaafkan bukanlah tentang apakah orang lain pantas diampuni atau tidak, tetapi tentang bagaimana kita dapat mencapai kedamaian dan kebahagiaan dalam diri kita sendiri.
-
Referensi:
[1] Ghuzairoh, T. (2015). Perbedaan forgiveness ditinjau dari jenis kelamin pada budaya Jawa [Differences in forgiveness based on gender in Javanese culture] (Undergraduate thesis). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. http: //etheses. uin-malang. ac. id/902/12/10410030%20Ringkasan. pdf
[2] Ismoyo, P. J. (2020). Decolonizing gender identities in Indonesia: A study of Bissu 'The trans-religious leader' in Bugis people. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 10(3). https: //doi. org/10.17510/paradigma. v10i3.404